Rabu, 27 Mei 2009

"Bahan Bakar Nabati"

Oleh: Widjajono Partowidagdo

Pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bahan Bakar Nabati (BBN). Pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan BBN (Kepres No. 10 Tahun 2006) telah mengeluarkan Blue Print Pengembangan BBN. Walaupun demikian, di internet banyak keluhan tentang macetnya program tersebut. Seorang teman yang waktu tahun 2006 (ketika Tim Nasional Pengembangan BBN dibentuk) sangat bersemangat mengembangkan jarak di Sumbawa, ketika penulis tanya pada Juni 2008 bagaimana jaraknya, menjawab lesu: ?Mas, aku sudah berhenti. Gimana mau untung kalau dibeli dibawah Rp 1000/kg?.

Kebetulan penulis mendapat DVD dari DESDM (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral) tentang Desa Mandiri Energi di Nusa Penida yang diresmikan Bapak Presiden SBY. Pada DVD semua terlihat bagus, sehingga penulis dan beberapa kawan mengunjungi pulau tersebut pada 6 Juli 2008, naik speed boat dari Sanur. Listrik dari kincir angin dan sinar matahari memang beroperasi karena barang impor dan tidak ada hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat, tetapi program energi dari jarak (biodiesel) dan dari kotoran sapi (biogas) macet. Mesin pemeras jarak serta pemroses kotoran sapi dan kompor biogasnya ada, tetapi hanya digunakan untuk peragaan, kalau ada permintaan. Petani mengatakan bahwa tidak ada jaminan pembelian dan harga beli buah jarak, disamping mereka tidak mempunyai sarana untuk menggunakan jarak tersebut untuk kepentingan sendiri (memasak misalnya).

Pada waktu mendaki Kala Pattar (5545 m) di Himalaya April 2007, penulis mendapati pada daerah yang masih ada airnya, penduduk menggunakan microhydro untuk listrik dan sampai Gorak Shep (sekitar 5000 m) penduduk masih menggunakan kotoran yak (sapi berbulu panjang) dan manusia untuk memasak dan pemanasan ruangan. Nepal tidak mensubsidi BBM (Bahan Bakar Minyak).

Kebetulan penulis menjadi salah satu pemenang lomba makalah dengan topik ?Memperkuat Ketahanan Energi dan Pangan Nasional dalam Era Persaingan Global? dan mempresentasikannya pada Sidang Pleno ISEI XIII (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di Senggigi, Lombok 17 Juli 2008. Ketika penulis menyatakan di internet banyak keluhan tentang pengembangan jarak, Pak Abdul Hakim Kepala Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) menawarkan kesediaannya untuk mengantar apabila penulis menginginkan untuk mengetahui keberhasilan pemanfaatan jarak di KSB.

Singkatnya, 10 Agustus 2008 kami menemui Kelompok Tani yang dipimpin oleh Bapak Dahlan di Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat. Kami diantar ke lokasi tanaman jarak di bukit lalu menuju ke tempat Pemurnian Minyak Jarak (Pure Oil Plant) dan tempat pemeras jarak yang dibuat oleh PT Pura Barutama. Pak Dahlan menjelaskan bahwa dalam tahun 2008 kelompoknya telah mengirim 318,3 ton jarak yang dikirim ke: Solo: 74 ton, Banyuwangi: 51 ton, Pati: 57,5 ton, Sumbawa Besar: 17,8 ton dan dari Jereweh dan Brang Rea dikirim ke Semarang 118 ton. Dikeluhkan ada pembeli yang berjanji membeli Rp 1250 /kg di depan Kepala Dinas tetapi ketika petugasnya datang hanya mau beli Rp 1000 /kg akibatnya kelompok Tani tidak mau menjual biji yang sudah kering untuk biodiesel, tetapi hanya menjual biji untuk bibit (yang cukup diangin-anginkan) karena harganya jauh lebih mahal yaitu Rp 3000-7000. Walaupun demikian kalau hanya menjual untuk bibit tentunya yang dijual terbatas. Apabila mau memproduksi sampai ribuan ton tentunya harus dijual sebagai bahan bakar atau untuk konsumsi sendiri.

Senin, 11 Agustus 2008 kami berkunjung ke kelompok tani di desa Brang Rea dan diterima oleh ketua kelompok yaitu Bapak Dulah. Jalan menuju ke tempat tersebut relatif sulit karena jalan yang kita lalui harus menyusuri bantaran sungai dan sesekali mobil harus menyeberangi sungai berbatu. Lahan yang digarap oleh kelompok tani ini relatif lebih baik karena dekat dengan sungai. Namun sangat disayangkan belum ada sama sekali buah jarak yang pernah mereka panen. Hal ini dikarenakan sosialisasi pengolahan paska panen belum mereka ketahui, baik pengolahan bijih jarak maupun pemerasan minyak jaraknya. Mereka berharap dapat mengunakan minyak jarak ini untuk keperluan memasak dengan adanya bantuan pengadaan kompor minyak jarak serta mesin pemerasnya. Hal ini untuk mendorong semangat para petani yang dibina sehingga mereka berniat untuk merawat tanaman jarak yang sudah mereka tanam.

Selanjutnya kami menuju ke kelompok tani di desa Jelenga, kecamatan Jereweh. Ketua kelompoknya, Bapak Kusmayadi menyatakan bahwa biji jaraknya dibeli dengan harga Rp 1250 /kg berapapun produksinya (4 kg sekalipun). Mereka mengharapkan memperoleh kompor minyak jarak, mesin pemipil serta mesin pemeras manual. Mereka menanam jarak dengan pola tumpangsari (2 x 5 meter) dan sistem pengairannya menggunakan sumur pompa, dimana sumur disumbang oleh Pemda dan infrastrukturnya disumbang oleh Newmont.

Dalam Perjalanan pulang ke Mataram, penulis sedih mengetahui bahwa para petani tembakau di Lombok Timur yang mengeluh karena minyak tanah langka ketika panen. Akibatnya, tembakaunya tidak dikeringkan dan busuk. Padahal Lombok Timur punya tanaman jarak banyak, tetapi petani belum paham mengubahnya menjadi energi.

Institut Teknologi Bandung (ITB) juga melakukan pembinaan pemanfaatan jarak di kabupaten Ciamis, Jawa Barat di Kecamatan Rajadesa dan Kecamatan Parigi. ITB menyediakan bibit, memberi penyuluhan tentang pemilihan bibit, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, teknologi pengolahan serta menyediakan peralatan pengolahan yaitu mesin penghancur kulit biji jarak, mesin penggiling daging biji jarak, mesin pres manual, membran dan kompor. Pembinaan dimaksudkan terutama agar masyarakat bisa menggunakan jarak sebagai pengganti minyak tanah untuk memasak, sampai saat ini Kecamatan Rajadesa lebih berhasil dari Kecamatan Parigi.

Di beberapa tempat program pengembangan jarak berhasil, walaupun di banyak tempat jalan ditempat. Keberhasilan pengembangan jarak tergantung kepada:

1. Petani tahu dan percaya kegunaan pemanfaatan biofuel (biodiesel dan bioethanol) dan adanya pemimpin Kelompok Tani yang dipercaya dan profesional.

2. Keaktifan Pemerintah Daerah (dalam hal ini Dinas Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan), Pengusaha, Perguruan Tinggi atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam sosialisasi pemanfaatan dan membina kelompok Tani di daerahnya.

3. Kerjasama antar instansi (Departemen), terutama ESDM, Perindustrian dan Perkebunan.

4. Terdapatnya pembeli dengan harga beli yang menarik dan kontinyu serta menepati harga beli yang sudah dijanjikan.

5. Kualitas bibit yang baik, sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi.

6. Lahan yang memang cocok untuk tanaman tersebut.

7. Tersedianya alat pemroses yang ekonomis.

8. Tersedianya sarana untuk memanfaatkan biofuel untuk digunakan petani (misal: kompor untuk jarak).

Seyogyanya keberhasilan pengembangan jarak untuk biodiesel disiarkan di media baik cetak, radio maupun televisi supaya dapat ditiru di tempat lain. Hal serupa perlu dilakukan untuk bioethanol (perlu peragian) dari ketela, tebu dan lain-lain. Program tersebut paling tidak dapat mengatasi permasalahan untuk memasak karena mahal atau langkanya minyak tanah. Dalam kasus Lombok Timur, penduduk bisa menggunakan minyak jarak untuk mengeringkan tembakau.

Apabila dapat memanfaatkan lahan-lahan yang menganggur atau kritis, maka disamping bisa menahan erosi dan mencegah banjir, pendapatan penduduk meningkat sehingga mengurangi kemiskinan. Pasar biofuel akan meningkat dimasa depan karena tingginya harga minyak dan makin ketatnya persyaratan lingkungan. Syaratnya, pemerintah harus menjamin kalau panen dibeli dengan harga yang menguntungkan. Misalnya untuk kasus jarak minimal Rp 1250/kg.

Dalam kasus KSB diharapkan Newmont dalam program CSR (Corporate Social Responsibility) dapat membantu pengembangan biofuel disamping dapat memanfaatkannya untuk kebutuhan BBM dan listriknya yang besar. Untuk daerah-daerah lain diharapkan partisipasi Pertamina, PLN dan perusahaan-perusahaan lain.

Perlu adanya kerjasama antar pemerintah, pengusaha, akademisi dan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Tujuan kita bernegara bukan hanya masyarakat yang makmur, tetapi juga adil. Untuk itu dibutuhkan anggota masyarakat yang beriman, beramal saleh dan selalu mengingatkan akan kebenaran dan kesabaran.

Penulis adalah Guru Besar ITB

Disampaikan pada: Roundtable Discussion Lemhanas di Jakarta, 18 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar