Dahwa. Dia terbilang teman karib saya dari SMP hingga SMU, daerah yang terbentang di tengah-tengah kaki Gunung Ciremai dan Gunung Slamet. Usia kami tak terpaut jauh. Kalaupun ada perbedaan, dulu semasa SMU, dia bertubuh agak gempal, otot agak berisi, dan sorot mata rada tajam. Semasa SMU, hampir 15 tahun lalu, tubuh saya kecil, tak berotot, dan mata agak cekung: sayu. Tak seperti sekarang.
Sudah lebih dari satu dasa warsa kami tak bertemu. Hanya sedikit kabar setahun lalu, dia sudah menikah dengan teman satu SMP, teman saya juga. Katanya dia telah punya anak laki-laki, sekira umur dua tahunan. Tubuh bayinya rada bongsor, bermata bulat, dan berhidung bangir, katanya.
Meski satu sekolah, kami beda kampung, tepatnya bertetangga kampung. Desa dia tepat di tubir Cisanggarung, sungai yang membentang panjang membelah tanah Pasundan dan bekas kekuasan Majapahit, dari selatan Jawa menuju pantai utara Jawa atawa pantura. Ayahnya adalah tenaga pengairan di Cisanggarung. Maka, dia pun kerap mengikuti jejak sang bapak, tiap hari melaju di dua provinsi: Jawa Barat dan Jawa Tengah. He..he..he.. Betul. Itu karena untuk ke Jawa Barat hanya butuh sepelemparan batu sahaja. Alias…dia hidup di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Saya mungkin tak akan ingat lagi bagaimana aktivitas dia selepas SMU dulu, jika saja tak ada kabar dadakan tadi pagi. Kebetulan, karena tekad saya yang –maap—rada ndableg, saya bisa lulus Sarjana. Padahal, secara ekonomi kelihatannya dia lebih mapan ketimbang saya. Saya, saat SMU dulu, terpaksa nyambi harus jadi kuli di sawah tetangga untuk sekadar dapat uang jajan, syukur-sykur bisa nambah buat bayar SPP.
Dia? Dia tak melanjutkan kuliah, dan katanya hanya berkarir mengikuti jejak sang bapak menjadi tenaga pengairan di Cisanggarung. Kemudian beristri dan beranak pinak di desanya.
Subuh pagi tadi, ingatan saya kembali menerobos bersamanya. Selepas sholat Subuh, telepon saya menjerit-jerit. Duh, pengeng-nya pagi-pagi buta suara dering telepon berkoar-koar. Biasanya, selepas Subuh itu saya bergelung sarung lagi. Tapi tidak, pagi tadi itu. Jeritan telepon itu mengusir rasa kantuk.
Hampir saja tak saya angkat telepon kutu kupret itu. Nomor telepon pemanggil tak dikenal. Gengsi saya sepertinya makin ke sini kian meninggi saja. Malas nian menjawab telepon dari orang yang tidak dikenal. Mungkin sudah mulai merasa jadi orang rada penting. Dasar!! Rada ngedumel, saya angkat juga menjawab panggilan telepon.
“Halo,” kata saya.
“Hai, kawan, ini Dahwa, masih ingat?” kata suara di seberang telepon.
“Oh…ya, ya,..apa kabar,” sapa saya.
“Baik..baik..makin sukses wae saya denger, kumaha kerjaan? Hebat sekarang mah udah jadi wartawan euy…”
Ach, rasanya tak perlu saya bertele-tele membeberkan basa-basinya tanya kabar dengan logat Sunda pinggiran yang sesekali terceletuk itu. Rasanya juga tak bernafsu mengulas saling sapa yang rada kurang berbobot itu. Masih pagi pula. Rada terkantuk-kantuk pula. Mata ini masih rada lengket. Yang saya perlu kasih tahu, dia bilang tahu nomor hape saya dari seorang teman satu SMU yang beberapa waktu berjumpa. Maka, sebaiknya kusarikan saja apa-apa yang dia ceritakan. Tentu saja, dengan sedikit variasi dan versi bahasa saya.
****
Sudah enam bulan ini saya menjadi pemimpin proyek di tubir desa Cisanggarung. He..he..he..Jangan kau ledek. Proyek orang kota dengan wong ndeso sangat jauh beda, tentu saja. Pak Kepala Desa menunjuk saya sebagai ketua pembangunan balai desa. Ini bagian dari proyek bantuan pemerintah. Nilainya cukup besar untuk ukuran kampung bau lisung seperti desa saya: Rp 250 juta.
Bagi lulusan SMU yang tak punya pekerjaan tetap, kecuali menjadi tenaga pengarian Cisanggarung, seperti saya, proyek ini sangat membantu ekonomi keluarga. Lumayan. Proyek ini juga bisa menjadi semacam proyek padat karya bagi kawan sedesa saya. Kata Pak Kades, biar orang-orang getol membangun desanya sendiri. Tinimbang merantau ke Jakarta, berdagang asongan, kerja kuli di proyek-proyek gedung pencakar langit di ibu kota. “Lebih baik bekerja memajukan kampung halaman sendiri,” kata Pak Kades, menjelang pembangunan balai desa enam bulan lalu itu.
Maka, kini pembangunan balai desa sudah separuh jalan. Sudah berdiri pondasi dan tiang-tiang. Rencananya, balai desa akan berdiri dengan dua lantai. Mewah, tentu saja untuk ukuran desa. Targetnya selesai akhir 2009.
Tapi, sudah seminggu ini pembangunan balai desa tersendat. Tahukah kau apa penyebabnya? Warga desa kami sekarang sedang resah. Sebab, ada beberapa artikel di media Koran lokal di daerah kami yang menulis: pembangunan balai desa kami kekurangan dana. “Duit yang seharusnya berlebih itu tiba-tiba raib,” tulisan sebuah Koran diantaranya. “Proyek ini sarat korupsi,” timpal sebuah tulisan lagi.
Saya baru tahu media tersebut. Sebulan lalu, seorang yang megaku wartawan dari salah satu media tersebut, mengantarkan beberapa tulisan itu ke balai desa. Saya baca isi beritanya. Saya tilik-teliti satu per satu halaman koran berkertas buram itu. Saya ambil salah satunya.
Namanya saja asing: Harian Kebangsaan. Tebalnya 20 halaman. Tulisan cetaknya buram, ada beberapa bagian tulisan yang berbayang. Tak jelas. Isinya dibagi per lima halaman. Dari halaman satu sampai lima berita nasional, halaman enam sampai 10 berita daerah dan lokal, termasuk even-even di kampung-kampung, halaman 11 sampai 15 berita gado-gado, mulai dari berita luar negeri, berita olahraga, dan lima halaman terakhir berisi guyonan dan infotainment.
Berita tentang proyek desa saya itu terletak di halaman 9. Isinya, ya, itu tadi. Membuat sesak dada ini. Ini fitnah. Tapi rasanya diri ini jadi tak berdaya.
Maka, gegerlah seisi desa. Inilah pangkal soal itu. Saya dan orang-orang kampung kaget bukan kepalang. Dari mana si wartawan media tersebut tahu bahwa proyek ini mangkrak. Proyek ini tak jalan, atau proyek ini kekurangan dana, atawa terjadi kebocoran dana hingga ada dugaan korupsi?
Sudah seminggu ini proyek memang tak jalan. Tapi bukan karena kekurangan dana. Tapi karena terpicu tulisan itu. Warga desa kami tiarap. Menunggu ada tulisan yang membuat syok apalagi yang bakal muncul. Semua warga harap-harap cemas. Warga tak mengerti, dari mana wartawan media itu mendapat sumber berita seperti itu. Kami, warga desa di tubir Cisanggarung, setidaknya saya sebagai ketua proyek, tak pernah merasa ada satu wartawanpun yang mewawancarai. Tapi tiba-tiba muncul tulisan yang benar-benar meresahkan itu.
Kami tak berani melawan, karena memang tak tahu hukum sama sekali. Tak ada ahli hukum di desa kami. Yang kami tahu, semua orang di desa dan daerah lain jadi tahu bahwa proyek balai desa di tempat kami rawan korupsi. Dan itu seperti menuding ke saya, sebagai kepala proyek.
Saya juga kini lebih banyak diam di rumah, seperti sudah divonis bahwa saya ini adalah seorang korup, yang memakan uang bantuan pemerintah untuk kepentingan pribadi. Padahal, untuk urusan duit seperti ini, saya masih memegang apa yang dikatakan guru ngaji saya: Tidak akan mashlahat mengambil uang yang bukan haknya. Setidaknya itu yang masih saya pegang. Tapi, apa kini semua? Diri ini seperti sudah tak berharga lagi.
Semua warga tiarap. Semua mata seperti tertuju ke saya, sekali lagi, seperti menghujamkan tudingan bahwa saya adalah seorang korup. Dan, tiga hari lalu, Pak Kades memanggil saya, juga beberapa aparat desa. Katanya ada segerombolan wartawan yang hendak wawancara dengan saya dan Pak Kepala Desa soal proyek itu. Nyali saya sebetulnya rada ciut. Entahlah, saya tak punya salah apa-apa, tapi kenapa jadi gemetar begini rupa. Inilah barangkali karakter ndeso, biasa manut, biasa saur manuk terserah pimpinan.
Saya dan beberapa aparat desa kemudian menemui tamu-tamu tak diundang itu. Inikah wajah-wajah para wartawan itu? Ada enam orang. Tiga diantaranya berambut gondrong, perut tambun, badan gempal. Dua yang lain bercaping warna merah bertuliskan Persatuan Wartawan Reformasi. Saya gelap urusan jurnalistik dan pers. Siapa mereka, juga saya tak paham. Yang saya pasti akan ingat terus, keenam-enamnya memakai rompi warna coklat. Bercelana jeans yang rada belel di bagian lututnya. Mungkin pakaian seragam mereka, pikir saya.
Mereka mengaku mau wawancara mau follow up berita sebelumnya. Berita yang menyesakkan itu, berita yang menyudutkan saya itu. Katanya, bisa tidak ditulis seperti itu lagi, asal kami bayar mereka masing-masing Rp 500.000. Semprul!! Uang segitu bagi warga desa seperti kami, terbilang besar. Itu sama saja dengan memberi masing-masing dua kwintal padi. Berat!!
Tak ada banyak basa-basi, memang. Hati ini ngedumel, terus-terusan. Jadilah pertemuan tiga hari lalu itu rada tegang. Pak Kades, saya, dan beberapa pejabat desa, menolak memberi uang sebesar itu. Mereka juga ngotot, kalau tak diberi uang akan membuat berita lebih heboh. Beberapa warga kemudian datang ke balai desa. Penduduk yang mayoritas petani, hari itu seperti libur ke ladang atau sawah.
Ternyata kabar ada sekelompok wartawan ke balai desa tersebar cepat. Semua warga desa –total warga di desa kami sekira 3.000 orang--, sepertinya sudah mendengar kabar ini. Maka, sore itu balai desa penuh sesak oleh warga desa. Semua penasaran. Makin sore, pertemuan kian panas. Dari pojok balai desa yang belum jadi itu, seorang warga berteriak, “Usir saja, biarin kita berurusan dengan hukum saja,” teriaknya. Warga lain mulai terusik. Maka, agar tak terjadi keributan, Pak Kades menyarankan segermobolan wartawan itu untuk segera pergi.
Mereka akhirnya mengalah. Pergi. Tapi tetap dengan satu ancaman: Kami akan tulis lebih dahsyat dari yang sudah ditulis,” kata seorang diantara mereka. Pak Kades, mewakili kami, mendapat dukungan warga, sore tiga hari lalu itu, mendadak bangkit semangat. “Silakan, kami tak takut,” katanya, rada menggertak balik. Mereka ngacir.
****
Hampir dua jam Dahwa ngoceh di ujung telepon. Hape saya sampai panas dibuatnya. Baterenya juga hampir habis. Dari telepon jam 04.30 WIB usai Subuh itu, cerocosannya baru kelar sekitar jam 06.20 WIB. Karena kini jaman tarif murah, maka saya tahu pulsa telepon yang tersedot untuk pembicaraan Dahwa pastilah tak seberapa. Apalagi, saat ini operator-operator telepon sedang gencar perang tarif murah. Maka, telepon pada waktu jam segitu biaya telepon hingga dua jam paling tak nyampe Rp 1.000. Murah.
Begitulah. Di ujung teleponnya, Dahwa kemudian bertutur: “Kawan, apakah memang profesi wartawan seperti itu? Membuat resah masyarakat kecil seperti kami? Padahal, ketika kita sama-sama SMU, yang saya tahu wartawan adalah profesi hebat, mau mempertaruhkan nyawa di tengah medan perang, menjadi pahlawan dan penyambung informasi untuk wong cilik seperti kami,” paparnya, rada getir.
Jujur, saya juga bingung menjawab pertanyaan Dahwa. Wartawan. Saya juga seorang wartawan.
“Kalau memang tabiat wartawan seperti itu, saya malu punya kawan lama seperti ente,” pungkasnya, seraya minta maaf. Saya terpaku!!
Jakarta, 26 September 2008
14.14 WIB
by: Danto (Org. Cikakak)
Sudah lebih dari satu dasa warsa kami tak bertemu. Hanya sedikit kabar setahun lalu, dia sudah menikah dengan teman satu SMP, teman saya juga. Katanya dia telah punya anak laki-laki, sekira umur dua tahunan. Tubuh bayinya rada bongsor, bermata bulat, dan berhidung bangir, katanya.
Meski satu sekolah, kami beda kampung, tepatnya bertetangga kampung. Desa dia tepat di tubir Cisanggarung, sungai yang membentang panjang membelah tanah Pasundan dan bekas kekuasan Majapahit, dari selatan Jawa menuju pantai utara Jawa atawa pantura. Ayahnya adalah tenaga pengairan di Cisanggarung. Maka, dia pun kerap mengikuti jejak sang bapak, tiap hari melaju di dua provinsi: Jawa Barat dan Jawa Tengah. He..he..he.. Betul. Itu karena untuk ke Jawa Barat hanya butuh sepelemparan batu sahaja. Alias…dia hidup di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Saya mungkin tak akan ingat lagi bagaimana aktivitas dia selepas SMU dulu, jika saja tak ada kabar dadakan tadi pagi. Kebetulan, karena tekad saya yang –maap—rada ndableg, saya bisa lulus Sarjana. Padahal, secara ekonomi kelihatannya dia lebih mapan ketimbang saya. Saya, saat SMU dulu, terpaksa nyambi harus jadi kuli di sawah tetangga untuk sekadar dapat uang jajan, syukur-sykur bisa nambah buat bayar SPP.
Dia? Dia tak melanjutkan kuliah, dan katanya hanya berkarir mengikuti jejak sang bapak menjadi tenaga pengairan di Cisanggarung. Kemudian beristri dan beranak pinak di desanya.
Subuh pagi tadi, ingatan saya kembali menerobos bersamanya. Selepas sholat Subuh, telepon saya menjerit-jerit. Duh, pengeng-nya pagi-pagi buta suara dering telepon berkoar-koar. Biasanya, selepas Subuh itu saya bergelung sarung lagi. Tapi tidak, pagi tadi itu. Jeritan telepon itu mengusir rasa kantuk.
Hampir saja tak saya angkat telepon kutu kupret itu. Nomor telepon pemanggil tak dikenal. Gengsi saya sepertinya makin ke sini kian meninggi saja. Malas nian menjawab telepon dari orang yang tidak dikenal. Mungkin sudah mulai merasa jadi orang rada penting. Dasar!! Rada ngedumel, saya angkat juga menjawab panggilan telepon.
“Halo,” kata saya.
“Hai, kawan, ini Dahwa, masih ingat?” kata suara di seberang telepon.
“Oh…ya, ya,..apa kabar,” sapa saya.
“Baik..baik..makin sukses wae saya denger, kumaha kerjaan? Hebat sekarang mah udah jadi wartawan euy…”
Ach, rasanya tak perlu saya bertele-tele membeberkan basa-basinya tanya kabar dengan logat Sunda pinggiran yang sesekali terceletuk itu. Rasanya juga tak bernafsu mengulas saling sapa yang rada kurang berbobot itu. Masih pagi pula. Rada terkantuk-kantuk pula. Mata ini masih rada lengket. Yang saya perlu kasih tahu, dia bilang tahu nomor hape saya dari seorang teman satu SMU yang beberapa waktu berjumpa. Maka, sebaiknya kusarikan saja apa-apa yang dia ceritakan. Tentu saja, dengan sedikit variasi dan versi bahasa saya.
****
Sudah enam bulan ini saya menjadi pemimpin proyek di tubir desa Cisanggarung. He..he..he..Jangan kau ledek. Proyek orang kota dengan wong ndeso sangat jauh beda, tentu saja. Pak Kepala Desa menunjuk saya sebagai ketua pembangunan balai desa. Ini bagian dari proyek bantuan pemerintah. Nilainya cukup besar untuk ukuran kampung bau lisung seperti desa saya: Rp 250 juta.
Bagi lulusan SMU yang tak punya pekerjaan tetap, kecuali menjadi tenaga pengarian Cisanggarung, seperti saya, proyek ini sangat membantu ekonomi keluarga. Lumayan. Proyek ini juga bisa menjadi semacam proyek padat karya bagi kawan sedesa saya. Kata Pak Kades, biar orang-orang getol membangun desanya sendiri. Tinimbang merantau ke Jakarta, berdagang asongan, kerja kuli di proyek-proyek gedung pencakar langit di ibu kota. “Lebih baik bekerja memajukan kampung halaman sendiri,” kata Pak Kades, menjelang pembangunan balai desa enam bulan lalu itu.
Maka, kini pembangunan balai desa sudah separuh jalan. Sudah berdiri pondasi dan tiang-tiang. Rencananya, balai desa akan berdiri dengan dua lantai. Mewah, tentu saja untuk ukuran desa. Targetnya selesai akhir 2009.
Tapi, sudah seminggu ini pembangunan balai desa tersendat. Tahukah kau apa penyebabnya? Warga desa kami sekarang sedang resah. Sebab, ada beberapa artikel di media Koran lokal di daerah kami yang menulis: pembangunan balai desa kami kekurangan dana. “Duit yang seharusnya berlebih itu tiba-tiba raib,” tulisan sebuah Koran diantaranya. “Proyek ini sarat korupsi,” timpal sebuah tulisan lagi.
Saya baru tahu media tersebut. Sebulan lalu, seorang yang megaku wartawan dari salah satu media tersebut, mengantarkan beberapa tulisan itu ke balai desa. Saya baca isi beritanya. Saya tilik-teliti satu per satu halaman koran berkertas buram itu. Saya ambil salah satunya.
Namanya saja asing: Harian Kebangsaan. Tebalnya 20 halaman. Tulisan cetaknya buram, ada beberapa bagian tulisan yang berbayang. Tak jelas. Isinya dibagi per lima halaman. Dari halaman satu sampai lima berita nasional, halaman enam sampai 10 berita daerah dan lokal, termasuk even-even di kampung-kampung, halaman 11 sampai 15 berita gado-gado, mulai dari berita luar negeri, berita olahraga, dan lima halaman terakhir berisi guyonan dan infotainment.
Berita tentang proyek desa saya itu terletak di halaman 9. Isinya, ya, itu tadi. Membuat sesak dada ini. Ini fitnah. Tapi rasanya diri ini jadi tak berdaya.
Maka, gegerlah seisi desa. Inilah pangkal soal itu. Saya dan orang-orang kampung kaget bukan kepalang. Dari mana si wartawan media tersebut tahu bahwa proyek ini mangkrak. Proyek ini tak jalan, atau proyek ini kekurangan dana, atawa terjadi kebocoran dana hingga ada dugaan korupsi?
Sudah seminggu ini proyek memang tak jalan. Tapi bukan karena kekurangan dana. Tapi karena terpicu tulisan itu. Warga desa kami tiarap. Menunggu ada tulisan yang membuat syok apalagi yang bakal muncul. Semua warga harap-harap cemas. Warga tak mengerti, dari mana wartawan media itu mendapat sumber berita seperti itu. Kami, warga desa di tubir Cisanggarung, setidaknya saya sebagai ketua proyek, tak pernah merasa ada satu wartawanpun yang mewawancarai. Tapi tiba-tiba muncul tulisan yang benar-benar meresahkan itu.
Kami tak berani melawan, karena memang tak tahu hukum sama sekali. Tak ada ahli hukum di desa kami. Yang kami tahu, semua orang di desa dan daerah lain jadi tahu bahwa proyek balai desa di tempat kami rawan korupsi. Dan itu seperti menuding ke saya, sebagai kepala proyek.
Saya juga kini lebih banyak diam di rumah, seperti sudah divonis bahwa saya ini adalah seorang korup, yang memakan uang bantuan pemerintah untuk kepentingan pribadi. Padahal, untuk urusan duit seperti ini, saya masih memegang apa yang dikatakan guru ngaji saya: Tidak akan mashlahat mengambil uang yang bukan haknya. Setidaknya itu yang masih saya pegang. Tapi, apa kini semua? Diri ini seperti sudah tak berharga lagi.
Semua warga tiarap. Semua mata seperti tertuju ke saya, sekali lagi, seperti menghujamkan tudingan bahwa saya adalah seorang korup. Dan, tiga hari lalu, Pak Kades memanggil saya, juga beberapa aparat desa. Katanya ada segerombolan wartawan yang hendak wawancara dengan saya dan Pak Kepala Desa soal proyek itu. Nyali saya sebetulnya rada ciut. Entahlah, saya tak punya salah apa-apa, tapi kenapa jadi gemetar begini rupa. Inilah barangkali karakter ndeso, biasa manut, biasa saur manuk terserah pimpinan.
Saya dan beberapa aparat desa kemudian menemui tamu-tamu tak diundang itu. Inikah wajah-wajah para wartawan itu? Ada enam orang. Tiga diantaranya berambut gondrong, perut tambun, badan gempal. Dua yang lain bercaping warna merah bertuliskan Persatuan Wartawan Reformasi. Saya gelap urusan jurnalistik dan pers. Siapa mereka, juga saya tak paham. Yang saya pasti akan ingat terus, keenam-enamnya memakai rompi warna coklat. Bercelana jeans yang rada belel di bagian lututnya. Mungkin pakaian seragam mereka, pikir saya.
Mereka mengaku mau wawancara mau follow up berita sebelumnya. Berita yang menyesakkan itu, berita yang menyudutkan saya itu. Katanya, bisa tidak ditulis seperti itu lagi, asal kami bayar mereka masing-masing Rp 500.000. Semprul!! Uang segitu bagi warga desa seperti kami, terbilang besar. Itu sama saja dengan memberi masing-masing dua kwintal padi. Berat!!
Tak ada banyak basa-basi, memang. Hati ini ngedumel, terus-terusan. Jadilah pertemuan tiga hari lalu itu rada tegang. Pak Kades, saya, dan beberapa pejabat desa, menolak memberi uang sebesar itu. Mereka juga ngotot, kalau tak diberi uang akan membuat berita lebih heboh. Beberapa warga kemudian datang ke balai desa. Penduduk yang mayoritas petani, hari itu seperti libur ke ladang atau sawah.
Ternyata kabar ada sekelompok wartawan ke balai desa tersebar cepat. Semua warga desa –total warga di desa kami sekira 3.000 orang--, sepertinya sudah mendengar kabar ini. Maka, sore itu balai desa penuh sesak oleh warga desa. Semua penasaran. Makin sore, pertemuan kian panas. Dari pojok balai desa yang belum jadi itu, seorang warga berteriak, “Usir saja, biarin kita berurusan dengan hukum saja,” teriaknya. Warga lain mulai terusik. Maka, agar tak terjadi keributan, Pak Kades menyarankan segermobolan wartawan itu untuk segera pergi.
Mereka akhirnya mengalah. Pergi. Tapi tetap dengan satu ancaman: Kami akan tulis lebih dahsyat dari yang sudah ditulis,” kata seorang diantara mereka. Pak Kades, mewakili kami, mendapat dukungan warga, sore tiga hari lalu itu, mendadak bangkit semangat. “Silakan, kami tak takut,” katanya, rada menggertak balik. Mereka ngacir.
****
Hampir dua jam Dahwa ngoceh di ujung telepon. Hape saya sampai panas dibuatnya. Baterenya juga hampir habis. Dari telepon jam 04.30 WIB usai Subuh itu, cerocosannya baru kelar sekitar jam 06.20 WIB. Karena kini jaman tarif murah, maka saya tahu pulsa telepon yang tersedot untuk pembicaraan Dahwa pastilah tak seberapa. Apalagi, saat ini operator-operator telepon sedang gencar perang tarif murah. Maka, telepon pada waktu jam segitu biaya telepon hingga dua jam paling tak nyampe Rp 1.000. Murah.
Begitulah. Di ujung teleponnya, Dahwa kemudian bertutur: “Kawan, apakah memang profesi wartawan seperti itu? Membuat resah masyarakat kecil seperti kami? Padahal, ketika kita sama-sama SMU, yang saya tahu wartawan adalah profesi hebat, mau mempertaruhkan nyawa di tengah medan perang, menjadi pahlawan dan penyambung informasi untuk wong cilik seperti kami,” paparnya, rada getir.
Jujur, saya juga bingung menjawab pertanyaan Dahwa. Wartawan. Saya juga seorang wartawan.
“Kalau memang tabiat wartawan seperti itu, saya malu punya kawan lama seperti ente,” pungkasnya, seraya minta maaf. Saya terpaku!!
Jakarta, 26 September 2008
14.14 WIB
by: Danto (Org. Cikakak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar