Pesan singkat tadi pagi membuat Karto harus sedikit bekerja keras hari ini. Di samping mengerjakan rutinitas kantor, Karto kudu riset, mencari nama-nama bayi dari Timur Tengah, persisnya dari Persia.
Kus, kakak Karto, sehabis Subuh tadi pagi mengabarkan istrinya melahirkan anak kedua. Bayi laki-laki lumayan gembil, berat badan 3,4 kilogram. Kulit sawo matang, mata rada belo. Hidung lumayan bangir.
“Tolong carikan nama-nama yang bagus, To,” pesan singkat dari Kus mampir ke handphone Karto.
“Mau nama-nama bayi mana? Timur Tengah mau?” balas Karto. “Boleh,” timpal Kus.
Orang jaman sekarang saling menghias nama, yang indah-indah, bisa mewakili wibawanya, melebur dalam kesamaan. Tak mewakili kelas dan strata sosial seperti Jawa. Di jamanku, kata Karto, nama adalah kelas. Dengan memperhatikan nama, orang sudah bisa menebak dari kasta mana dia berasal.
Karto? Hmmmm. Nama Karto adalah produk feodalisme di Jawa. Lima huruf. Hanya lima huruf saja. Juga satu kata. Tak ada nama belakang. Atau nama marga.
Dari namanya saja, mudah ditebak. Dia berasal dari kasta rendah suku Jawa. Golongan abangan. Bukan dari golongan santri. Apalagi golongan priyayi Jawa. Sebab, jika masuk golongan santri, maka namanya akan sangat kental dengan bau-bau Islam. Muhammad Zikrullah, misalnya. Atau Ahmad Hamid Abdullah, umpamanya. Atau juga Abdul Syukur, atau Abdur Rohman, atau Abdul-Abdul yang lain.
Bukan pula dari golongan orang-orang ningrat atawa priyayi Jawa yang suka membanggakan namanya. Birokrat Jawa, suka memilih nama-nama keraton yang indah-indah sebagai hiasan. Juga untuk memberi kesan bisa mempengaruhi diri sendiri dan orang lain dengan wibawa dan keindahannya itu. Dengan demikian, akan bertambah juga wibawanya.
Juru tulis sebuah kantor karesidenan, ujar Pramoedya Ananta Toer, akan menamakan dirinya dengan kata Sastra. Bisa Sastra Diwirya, yang berarti juru tulis yang tegas. Atau Sastra Disastra, yang berarti kepala juru tulis dari juru tulis.
Priyayi pengairan suka memberi namanya dengan awalan Tirta. Maka Tirtanata akan berarti pejabat yang mengatur perairan. Atau Raden Ajeng, yang dengan namanya orang sudah bisa menebak bahwa dia adalah keturunan keraton Jawa. Berdarah biru.
“What is the name? Apalah arti sebuah nama?,” kata Karto, kepadaku suatu senja. Barangkali dia mengutip pernyataan terkenal dari pujangga Eropa itu: William Shakespeare. Karto memang kadang sok puitis. Sok meniru ucapan pujangga-pujangga besar. Tapi begitulah dia.
Pada senja kala di batas kota tua itu, kami terlibat obrolan ringan. Entah mengapa, menjelang gelap itu kami mengupas lepas soal nama. Entah apa mula kata kami bicara. Tiba-tiba nyangkrok ke soal nama. Karto punya alasan soal namanya yang pendek itu.
“Si mbok-ku yang memberi nama memang tak pernah tahu aku jadi seperti sekarang, seorang juru warta. Dulu, ketika aku lahir, si mbok tahunya aku bakal menjadi seperti orang-orang sedaerahku. Jadi petani, atau pedagang, atau merantau ke Jakarta berdagang asongan rokok, menjadi kuli macul, kemudian menikah, punya anak, jadi kakek-kakek, selanjutnya meninggal di usia tua,” Karto terhenti sejenak. Tangan kanannya mencabut sehelai rumput yang sedikit tertiup angin senja kota tua. Menarik nafas sebentar.
Karto melanjutkan. “Seperti tak ada harapan bahwa anaknya bisa mempunyai nasib berbeda dengan orang-orang sebangsanya di kampung, bangsa kaum buruh, bangsa kaum abangan. Si mbok-ku hanya bisa pasrah, tak berani menentang nasib. Seperti tak ada harapan bahwa jaman sekarang sudah berubah. Bahwa sekarang orang kecil juga bisa sederajat dengan orang-orang besar,” papar Karto, getir. “Melalui pendidikan,” tandasnya.
Aku sedikit terpaku mendengar penegasan di pengujung pemaparannya. “Seperti tak ada harapan bahwa anaknya bisa mempunyai nasib berbeda dengan orang-orang sebangsanya di kampung, bangsa kaum buruh, bangsa kaum abangan. Si mbok-ku hanya bisa pasrah, tak berani menentang nasib. Seperti tak ada harapan bahwa jaman sekarang sudah berubah. Bahwa orang kecil juga sekarang bisa sederajat dengan orang-orang besar, melalui pendidikan.”
Barangkali Karto kini sudah merasa bernasib lebih baik ketimbang teman-teman sebayanya, yang kini hanya mengasong di pinggir-pinggir jalan dan lampu merah Grogol, Jakarta Barat, pikirku. Mungkin juga Karto, yang kini memasuki separuh baya, sudah punya pikiran bahwa dia bernasib lebih bagus ketimbang teman-teman seusianya yang hanya menjadi kuli dan buruh bangunan, di salah satu sudut Jakarta. Yang mereka hanya menamatkan sekolah hingga Sekolah Dasar (SD). Atau mentok di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Memang dasarnya apa sampai ketemu nama Karto?,” tanyaku, memberanikan diri, sore menjelang gelap itu. Karto agaknya sedikit tersinggung. Matanya sedikit memerah. Dia memang agak sensitif, dan kadang pemarah. Sisi lain tabiat Karto yang suka menyendiri.
“Buat apa kau tanya-tanya soal itu, mending kita bicara soal mereka-mereka yang selalu merasa terpanggil oleh iman, kemudian membantai kaum lainnya demi Sang Maha Penguasa. Menjadi laskar pembela kebenaran. Itu lebih menarik,” Karto berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku sedikit merengut. Dan Karto tahu, jika sudah berubah roman mukaku sedikit saja, itu tandanya aku minta pembicaraan semula diteruskan. Kami sudah sedemikian dekat, sehingga tahu hal remeh temeh sekalipun.
“Baiklah, kawan. Tahukah kau, dulu ketika si mbokku memberi nama, yang dia tahu hanya berpatokan pada perhitungan Jawa. Karena aku lahir pada hari Jumat, maka namaku harus diawali dengan huruf pertama namaku itu. Juga, lantaran aku lahir pada hari Jumat Legi, maka si mbok-ku percaya namaku harus berjumlah lima huruf, yang melambangkan Legi dalam perhitungan Jawa itu. Jika si mbok-ku tak mematuhi perhitungan Jawa itu, bisa celakalah aku di kemudian hari. Begitulah saat itu si mbok-ku dan para tetua kampungku percaya. Maka jadilah namaku Karto. Lahir Jumat Legi,” tutur Karto, sedikit bersungut.
“Jika saja si-mbokku berpendidikan, maka bisa jadi dia akan sedikit melek, melihat dunia. Bahwa era 1970-an dan era 1980-an Indonesia sudahlah membangun, pendidikan juga mulai maju. Siapapun berhak mengenyam, tak seperti jaman penjajahan dulu, penghuni lembaga pendidikan adalah makhluk dari langit, berdarah biru, manusia terpilih. Termasuk para priyayi Jawa itu.”
“Dan, si mbokku jika berpendidikan akan bisa melihat dunia, bahwa dunia sudah berubah sejak puluhan tahun lampau. Hmmm, tapi dia tetap ada dalam gelap gulita. Maka, jadilah aku seperti tetap di jaman feodal Jawa. Si mbokku sungkan memberi nama yang bagus-bagus, risih katanya, jika memberi nama bagus pada anak dari keturunan rakyat jelata. Malah bisa jadi ditertawakan orang sekampung,” Karto, panjang lebar.
“Betul memang satu dasa warsa setelah aku lahir, nama bayi di daerahku di tubir Cisanggarung sana sudah mulai berubah, mengikuti pola modernisasi. Mulai ada kesamaan strata kelas. Maka, seorang buruh tani pun bisa memberi nama yang sederajat dengan yang berpendidikan. Seperti misalnya Rahmat Darmawan. Itu aku tahu, pada jamanku dia pasti akan bernama Wawan saja.”
“Tak apa, jaman memang bergerak. Memasuki decade 1990-an, orang-orang sekampungku sudah mulai merantau ke Jakarta, meski hanya sekadar berdagang asongan, atau hanya sekadar menjadi kuli bangunan. Tapi dari sana membawa budaya modern, meski norak. Satu pengaruhnya, nama bayi menjadi ke kota-kotaan. Pengaruh feudal seperti di jamanku mulai pudar,” papar Karto.
“Nah, kau kan sekarang sudah bisa sederajat dan punya kesempatan banyak untuk sejajar dengan para keturunan ningrat itu, kenapa namanya tidak ditambah mengikuti mereka dan arus modern? Bukankah kau sudah berhak? Bukankah itu juga bisa meningkatkan gengsimu,” kataku, lagi.
Kali ini Karto sedikit membelalakan matanya. Aku sedikit ciut. “Tahu kau, kawan. Kau adalah orang yang kesekian yang selalu mengusik-ngusik namaku,” Karto terdiam sebentar. Kemudian menarik nafas panjang. Ada nada dendam dalam ucapannya.
“Tak mengikuti arus pasar, berarti ikut menolak ideologi pasar itu sendiri. Bukan begitu, kawan,” katanya. Matanya sedikit memelototi aku. Aku rada terkesiap. Barangkali dia sudah benar-benar tersinggung.
Tapi jujur aku tak terlalu mengerti apa arti perkataannya. “Maksudnya bagaimana Karto,” kataku.
“Kawan, aku tahu. Sekarang ini, jaman modern, jaman ideologi pasar. Agar bisa bertahan hidup di tengah persaingan pasar yang sangat sengit, orang harus punya kemampuan dan skill tinggi. Juga harus punya gengsi tinggi. Dia harus profesional. Karena dengan demikian, dari hasil profesionalitasnya itu, dia akan menghasilkan karya yang bisa dijual.
Orang harus mengikuti keinginan pasar agar tetap diminati pasar itu sendiri,” katanya. Karto sudah mulai ngelantur, pikirku. Tapi kudengarkan juga lanjutan omongannya.
“Kini sudahlah lazim, perusahaan-perusahaan besar menggunakan tenaga-tenaga ahli dari luar negeri. Bukan karena kemampuannya, tapi karena gengsinya. Kalaupun dia menggunakan tenaga lokal, maka sebisa mungkin yang berasal dari lulusan luar negeri. Setidaknya tahu seluk beluk luar negeri. Karena kini dunia sudah jadi kampung global,” katanya.
“Maka agar terkesan sangat tahu seluk beluk luar negeri, manusia jaman kiwari akan menggunakan nama kebarat-baratan. Sekali lagi agar terkesan modern. Tak terkecuali dalam memberikan penamaan. Maka orang lokal sekarang lebih suka menggunakan nama Michael dan Sebastian ketimbang Sunarto atau Ahmad. Dua nama terakhir itu akan terkesan sangat terbelakang dan tak berperadaban. Maka, dengan demikian perusahaan-perusahaan besar akan merekrut orang dengan nama-nama yang bagus-bagus. Sekali lagi itu demi gengsi. Yang buruk dan sangat lokal, mohon maaf, menyingkir dulu,” paparan Karto terhenti sejenak.
“Mungkin itu cuma pikiranmu saja, Karto,” aku menyela.
“Tidak, kau harus membuka mata. Orang jaman sekarang akan heran jika namamu hanya satu kata saja, seperti aku. Tanpa nama belakang, juga tanpa marga. Sebagian orang akan menganggap dengan satu nama saja, kau sangat kelihatan udik, sangat lokal. Dan kau harus merasakan, pertanyaan soal kenapa namamu hanya satu kata saja tanpa nama belakang, akan menjadi tudingan bahwa kau berasal dari kasta rendah, kasta abangan, bukan santri dan juga bukan priyayi. Tahu, kau,” Karto makin galak. Nyaliku menciut. Aku diam. Dia sudah benar-benar tersinggung. Malam sudah larut. Di pinggir kota tua itu, suara belalang tersengal-sengal. Hembusan angin makin menusuk-nusuk.
****
******
“Kak, gimana kalau nama Akmal, dari bahasa Timur Tengah, artinya sempurna, sangat pandai,” Karto kembali mengirim SMS ke Kus, setelah sedikit utak-atik computer. Sejenak kemudian, balasan muncul. “Lumayan bagus, coba cari yang lainnya,” Kus membalas.
Karto kembali mengorek-ngorek deretan nama-nama bayi di tumpukan tulisan mbah google. “Gimana kalau digabung menjadi Akmal Tristan Nadian, Akmal artinya sempurna, sangat pandai, Tristan dari bahasa Wales, Inggris Utara, artinya gagah berani, dan Nadian adalah singkatan dari nama kakak dan istri,” Karto kembali membalas, sejam kemudian.
Sejenak tak ada jawaban. Karto mencoba menawarkan nama lain. “Gimana kalau Farrel Yanuardi Tristan Nadian, Farrel artinya heroik dari bahasa Irlandia, Yanuardi artinya lahir pada Januari, Tristan Nadian seperti arti dalam SMS sebelumnya. Naman ini juga bisa mengantisipasi era globalisasi di masa datang,” pesan singkat Karto kemudia meluncur.
Huppp…Mengantisipias era globalisasi? Apa hubungan nama dnegan era globalisasi? Aku tak mengerti sekarang jalan pikiran Karto. Dia sudah mulai tak kupahami jalan fikirannya. Atau aku yang terlalu naïf, pendek daya jangkau fikirnya. Entahlah.
“Nanti saya pilih,” jawaban pesan singkat Kus mampir, pendek.
Dua hari berselang, Kus tak jua membalas SMS Karto. Sampai menjelang tengah malam, SMS Kus mampir ke Karto. “Mungkin namanya Akmal Grammarian Abdillah,” katanya. Karto yang masih terjaga mencoba membalas,” Itu sudah bagus, Anak pandai nan sempurna, semoga menjadi Hamba Allah yang pandai berbahasa Inggris dnegan grammar yang baik,” katanya. “Mentang-mentang jadi guru Bahasa Inggris,” kata Karto kepadaku esoknya.
“Jadi, apa namanu mau diubah juga Karto?” tanyaku kembali, mengingat percakapan sore menjelang malam waktu itu. Karto kembali membelalakan mata. “Biarlah, aku akan tetap memakai nama ini, meski terkesan ndeso, udik, kelas rendah di Jawa, tak apa. Biar aku selalu mengingat dari mana aku berasal. Bukan kacang yang lupa akan kulitnya. Panggil aku Karto saja,” ujar Karto. Aku terdiam.
* Terinspirasi dari judul “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer
by: Danto ()rg. Cikakak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar