By : Danto
Di ujung telepon, suaranya terdengar sedikit terbata. “Ibu kehabisan uang, le,” katanya, kepada Karto menjelang malam itu, dengan isak yang tertahan. Dug. Jantung Karto seperti terasa copot. Sudah berapa lama dia tak menghubungi ibu di kampung? Satu minggu, dua minggu, atau satu bulan lebih?
Masya Allah, Karto tak menghubungi bapak dan ibu di tepian gawir Cisanggarung sana selama sebulan lebih. Apa saja gerangan yang telah dia perbuat di Jakarta? Teledor nian kau, Karto. Hingga tak sempat memikirkan mereka.
“Kamu tak usah terganggu dengan omongan ibu soal duit itu, ibu cuma ingin mendengar suaramu saja. Sungguh kangen ibu padamu, le,” katanya, sedikit tersedu. Karto terdiam. Seperti terpengaruh pada omongan pertama ibu tadi: kehabisan duit.
Saat malam baru beranjak turun itu, sengaja Karto menelepon ibu di kampung melalui telepon genggam adik bungsunya. Adik terakhirnya itu kini duduk di bangku kelas satu SMU, di kota kecamatan.
Adiknya dua. Yang pertama kini menclok jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah departemen yang lumayan punya nama dan berpengaruh, baru masuk awal 2009 ini. Setahun lalu, Karto berbaik hati membelikan adik bungsu dan ibu bapak sebuah telepon genggam seken, sekadar untuk say halo dan nanya kabar. Barang seminggu dua.
Kebetulan, setahun setelah pindah kerja ke tempat baru, Karto bisa sedikit-sedikit menabung. Sisihan tabungan, sebagian istrinya menyimpan untuk tabungan keluarga. Sedikit lainnya dia sisihkan untuk bapak ibu, zakat, dan cadangan ibu bapak mertuanya.
Sebelum adik pertamanya masih kuliah dan menjadi PNS, Karto harus membagi sisa tabungan untuk kebutuhan sang adik, juga sesekali mengirimkannya pada ibu.
Sementara uang untuk telepon genggam adik terakhirnya adalah sisihan dari sisa uang bensin selama sebulan sebulan, setelah tak lagi menanggung beban harus membiayai adik pertama. Jadilah uang tabungan itu dia belikan mereka sebuah telepon genggam seken. Pulsanya sebulan sekali dia transfer, cuma secuil saja: Rp 25.000. Karto bilang pada adik terakhir, gunakan pulsa seirit mungkin, “Kalau ada perlu sama kakak, biar kakak telepon dari Jakarta,” kata Karto, ketika menyerahkan telepon genggam seken itu, setahun silam.
*****
*****
Biar kuceritakan sedikit. Aku mengenal keluarga Karto adalah keluarga harmonis. Biar dulu mereka serba kekurangan, kini terlihat cukup sudah, untuk ukuran kampung, tentu saja. Itu penglihatan kasat mataku. Aku mengenal keluarga ini, terutama Karto, yang sejak kecil berteman dengan ku.
Banyak hikmah dan pelajaran kuambil dari kisah hidup mereka. Kisah tentang perjuangan, tentang kemiskinan, tentang ketidaktahuan, tentang kejujuran, tentang tekad baja, tentang kekompakan, juga tentang kebahagiaan.
Karto adalah anak kedua dari empat bersaudara. Bapak dan ibunya adalah buruh tani di tubir Cisanggarung, daerah yang membentang antara Gunung Ciremai di Jawa Barat, dan Gunung Slamet di Jawa Tengah. Mereka punya lahan sawah yang kalo dihitung paling cuma beberapa petak saja, mungkin mendekati satu bau – satu bau sama dengan 0,7 hektare--, barangkali tak lebih dari setengah hektare.
Itupun sawah warisan. Hanya cukup untuk makan. Sisa kebutuhan untuk hidup, bapak Karto harus menjadi kuli di sawah tetangga. Atau sesekali ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Tapi itu dulu, sekarang tidak.
Dua puluh tahun lalu, sementara bapaknya rutin ke sawah atau merantau ke Jakarta, ibunya harus ke sana kemari, ke rentenir satu dan ke tuan tanah lain. Pinjam duit. Kakak pertama Karto, Kus, ketika itu masih Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di kota kabupaten. SPG adalah tujuan sekolah paling ideal untuk keluarga tak berpunya, seperti Karto.
Itupun tak gampang. Sebab, ada saja cibiran dari para tetangga Karto. Buat apa sekolah, sementara biaya tak ada, harus ngutang sana-sini. Mimpi kali ye. Tak ada trah atau darah jadi orang gedean. Cacah kuricakan (kelas terendah masyarakat) ya tetap cacah kuricakan saja. Tak usah bermimpi jadi orang gedean.
“Pasti tak akan jadi orang,” begitu cibiran yang masih saja aku, juga Karto, dengar hingga kini, dari mereka, dari para tetangga itu. Ibunya tak peduli. Harapan besar menjadikan anak-anak bernasib lebih baik ketimbang dia.
Maka, ketika mendengar selentingan Kus mengamen di jalanan kota kabupaten untuk membayar uang kos-kosan yang mepet, suatu malam, ibu menangis sejadi-jadinya. Tak rela, rupanya. Entah itu kabar burung dari siapa. Mungkin ada tetangga yang melihat Kus memang benar suka mengamen untuk sekadar nambah uang makan, usai pulang sekolah.
Sekolah di daerah Karto adalah barang mahal. Tak sembarang orang bisa sekolah hingga SPG, ketika itu. Nyatanya, “Tuhan Maha Adil,” kata ibu Karto, ketika Kus akhirnya lulus dari SPG.
Tapi, sampai di situ pun sengsara belum juga berbuah nikmat. Pada 1991, ketika Kus tamat dari SPG itu, kebijakan baru pemerintah tak memungkinkan lulusan SPG menjadi langsung seorang guru. Semua harus melewati bangku kuliah. Apa mau dikata. Jika tak melanjutkan kuliah, maka sia-sia saja sekolah di SPG. Tak akan bisa menjadi guru. Cita-cita yang Kus, juga Karto, idam-idamkan sejak kecil.
Jika ada dua orang temannya dari tetangga kampung Karto memilih tak melanjutkan kuliah, Kus nekad. Modal tak ada, uang pun tipis, Kus merantau ke Jakarta, usai lulus dari SPG itu. Benar-benar mengadu nasib.
Modalnya cuma kenalan yang bekerja di sebuah proyek bangunan di Jakarta. Iseng-iseng ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ndilallah keterima. Dia terjaring di Jurusan Bahasa Inggris sebuah perguruan tinggi negeri yang meluluskan para guru di Jakarta.
Gembira, sekaligus bingung. Jika diambil, maka akan sangat pusing tujuh keliling dengan biaya. Dasar bondo nekad, Kus memutuskan untuk kuliah. Tak ada cerita, juga tak ada bilang ke ibu bapak. Benar-benar nekad. Sendiri.
Ada gunanya juga punya teman bekerja di proyek bangunan. Maka Kus nekad melamar menjadi tenaga kebersihan di proyek itu. Entah karena kasihan, atau memang sedang butuh, mandor proyek yang juga tetangga di kampung itu menerima Kus. Jadilah Kus bekerja menjadi tenaga kebersihan proyek. Pagi kuliah, sorenya bekerja di antara debu-debu bangunan.
Pekerjaan di proyek sedikit membantu keuangan. Cuma itu tak terlalu menutupi kebutuhan kuliah. Maka, setelah beberapa bulan kuliah, Kus memutuskan pulang kampong mengadu ke ibu: kehabisan duit. Pusing tujuh keliling nian ibu bapak Karto saat itu. Maka, ibu memutuskan pinjam ke seorang rentenir. Bunganya sangat mencekik: 50% setahun.
Apa daya. Pinjaman kemudian mengucur, esoknya, meski cuma cukup untuk bayar uang semesteran. Jumlahnya Rp 200.000. Sisa untuk kebutuhan makan, cari sendiri di proyek bangunan.
Soal bayar ke rentenir, bisa dicicil tiap bulan dari hasil panen padi atau palawija. “Ibu cuma sanggup memberi segini,” kata ibu Karto, dengan suara dalam, ketika itu. Kus menerima, sambil tertunduk, mungkin merasa bersalah sudah merepotkan, lantas kembali ke Jakarta.
Kehidupan prihatin membawa Kus punya tekad baja. Harus lulus, meski tersendat. Singkat cerita, Kus sukses lulus sarjana dari perguruan tinggi negeri itu, tujuh tahun berselang. Dia terbilang lama kuliah, karena sekali dua mengambil jatah cuti, hanya untuk sekadar mengumpulkan tambahan biaya.
Selama itu, dia beberapa kali pindah kerja di proyek, dagang sepatu, menjajakan pakaian, dan mengajar privat Bahasa Inggris. Sementara di rumah sana, bapak dan ibu Karto sudah menghabiskan sawah setengah bau, separuh dari yang ada, untuk membayar uang semesteran Kus. Juga sesekali bekal makan di Jakarta.
Itu sudah termasuk sangat ngirit. Salah satu tetangga, yang juga menguliahkan anaknya, habis dua bau, taksirannya sekitar satu setengah hektare sawah. Modal orang kampong, petani, tak punya gaji, hanya sawah jika mau menyekolahkan anak hingga ke bangku kuliah. Tak ada lain.
Selepas lulus kuliah, Kus agaknya tak tahan hidup di Jakarta. Penghasilan seorang guru di Jakarta seperti menjepit kebutuhan. Maka, dua tahun berselang, Kus memutuskan kembali ke kampung. Mencoba mengadu nasib, daftar calon PNS.
Dasar nasib lagi baik, tahun itu juga Kus langsung diterima menjadi PNS. Setahun setelah jaman reformasi, satu tahun setelah pergantian kekuasaan Orde Baru, sogok menyogok, dan suap menyuap seperti hilang ditelan bumi. Tak seperti sebelumnya. Maka, Kus ketiban berkah jaman.
Dia masuk PNS dengan hasil tes murni. Tak secuil uang sogok pun dia keluarkan. Jika pun jaman masih seperti dulu, harus ada praktek-praktek cula, harus mencari uang dari mana jika harus membayar jabatan guru PNS itu? Lebih baik mundur dan berkarir jadi guru honorer, barangkali.
Kus kemudian mengajar di SMP di ibukota kecamatan. Setahun berselang, Kus lantas menikah dengan tetangga, yang baru lulus dari Akademi Kebidanan. Harus mencari jodoh sepadan, barangkali. Istrinya praktek di pinggiran kota di seberang Cisanggarung. Mereka kemudian menganyam hidup. Kini sudah punya dua anak. Punya pekarangan luas, dua sepeda motor, juga sebuah kendaraan roda empat.
****
****
Tiga tahun menjelang Kus lulus, Karto masuk SMU. Letaknya di ibukota kecamatan, sekolah yang sama dengan dua adiknya. Tadinya ibu sudah berkebaratan Karto melanjutkan SMU. “Lebih baik kamu kerja seperti orang-orang sekampung ini saja, merantau ke Jakarta, kerja di proyek-proyek bangunan, dapat uang,” kata ibu kepada Karto, suatu sore.
Karto mendongak. Nilai Ebtanas Murni (NEM) Karto terbesar kedua di SMP. Saat itu murid SMP ada sekitar 146 siswa. “Mana mungkin aku berhenti begitu saja,” kata Karto, membela diri.
Karto sepertinya mewarisi sifat ibu, yang juga turun ke Kus: keras kepala dan memegang prinsip. Itu pandanganku, yang ada di luar keluarga mereka. Karto keukeuh ingin melanjutkan ke SMU. Maka menjelang pembukaan murid baru, beberapa hari selepas lulus SMP, Karto ke sana ke mari mendaftarkan diri ke SMU, tujuh kilometer jauhnya dari rumah.
Lantaran sepeda pun tak punya, Karto terpaksa bolak-balik meminjam sepeda ke uwa –sebutan untuk kakak ibu atau bapak—dari bapak. Singkat kata, Karto tak susah masuk ke SMU di ibukota kecamatan.
Sampai sini Karto sumringah, sekaligus bimbang. Darimana uang untuk membayar SPP per bulan, atau uang bangunan, yang jumlahnya bisa untuk membeli dua kwintal padi itu? Sarana transportasi pun belum ada, sepeda pun tak punya. Sementara uang ibu bapak tersedot untuk mambantu biaya Kus yang sedang genting-gentingnya kuliah.
Sisi lain, ibu ingin memperbaiki rumah yang sudah bocor di sana-sini. Rumah joglo tua itu memang sudah saatnya dibongkar. Apalagi, ketika itu di kampung sedang tren membangun rumah, membongkar rumah joglo menjadi sedikit modern. Tren itu muncul setelah orang-orang sekampung Karto rame-rame mengadu nasib ke Jakarta. Ada yang jadi kuli bangunan, berdagang asongan, atau membuka warung makan.
Tak hilang akal, setelah pengumuman Karto diterima SMU itu keluar, Karto nekad juga ke Jakarta. Dia ikut seorang teman yang menjadi kenek tukang bangunan di bilangan Ciracas, Jakarta Timur. Karto juga menjadi kenek bangunan. Dia masih ingat betul, ketika itu ikut membangun rumah susun untuk polisi di Ciracas tersebut.
Tiga pekan lamanya di sana. Dengan gaji Rp 7.500 per hari, Karto bisa menggembol uang Rp 100.000, setelah dikurangi uang makan. Dia makan seirit mungkin agar bisa membawa uang untuk bayar uang bangunan, kalo bisa sedikit memberi buat ibu.
Alangkah bahagianya jika bisa turut memberi secuil uang itu untuk ibu, meski cuma untuk beli lauk yang lebih baik ketimbang makanan sehari-hari, yang cuma ikan asin atau tempe itu.
Uang segitu ternyata sangat berharga bagi Karto. Separuhnya untuk mencicil uang bangunan sekolah. Sedikit juga untuk memberi ibu, meski ibu rada menolaknya. Sebagian kecil lagi untuk membeli sepeda seken. Saat itu angkutan ke kota kecamatan belum ada. Yang ada cuma dokar bertenaga kuda.
Menjelang masuk SMU itu, Karto harus keliling dari bengkel sepeda yang satu ke bengkel sepeda lain di kampung. Mana tahu ada sepeda seken yang bisa untuk kendaraan sekolah. Syukurlah, di sebuah bengkel di ujung desa, ada seonggok sepeda bekas, dengan ban sudah belel, dan rantainya yang berkarat. Tak pikir panjang, Karto membelinya. Harganya Rp 35.000. Uangnya dari sisa kuli di Jakarta. Dia sedikit lega. Satu soal sudah teratasi.
Maka, mulailah Karto sekolah. Tiap hari menggoes sepeda baru yang tua itu, ke sekolah. Berkali-kali, dia harus membenarkan tali rantai sepeda yang kerap lepas, di jalanan menuju sekolah. Sementara teman-teman lain, saling dahulu mendahului. Ada yang memakai sepeda baru, beberapa juga mengendarai sepeda motor. Karto cuma penyendiri. Lebih jarang bergaul dengan teman sekolah. “Aku tak mau merepotkan orang lain,” katanya, kepadaku suatu sore.
Sehabis pulang sekolah, Karto harus pergi ke ladang untuk sekadar cari rumput buat kambing-kambingnya. Bapak memelihara beberapa ekor kambing hanya sekadar untuk tambalan kebutuhan hidup. Syukur-syukur bisa untuk menambal biaya sekolah.
Banyak manfaatnya juga Karto hidup prihatin. Teman-temannya yang sesama penggembala kambing, bukan anak-anak muda yang suka foya-foya, membawa Karto hidup sederhana. Betapa uang jajan seorang anak SMU lain sangat tak sebanding dengan uang jajan Karto.
Pada medio 1990-an itu, Karto hanya menggenggam Rp 200 per hari untuk sekadar uang jajan ke sekolah. Saat itu, harga sebuah bala-bala – di daerah lain disebut bakwan—sudah Rp 100 per buah. Sementara seporsi piring nasi plus bumbu kuah sudah Rp 500. Jadi, Karto harus menabung hingga seminggu lamanya agar bisa sekali makan di kantin sekolah.
Itupun jika sepeda tuanya tak mengalami rusak, seperti putus rantai dan ban meletus. Untunglah, Karto sudah terbiasa puasa Senen Kamis. Jadi, tak soal jika tak bisa jajan di kantin.
Sifat penyendiri membuat Karto tak biasa menggantungkan apapun pada orang lain. Termasuk soal belajar. Kebetulan, Karto terbilang menonjol di antara teman-temannya. Kelas satu SMU, dengan system catur wulan, Karto dua kali jadi juara satu, dan sekali juara dua. Maka, memasuki kelas dua, Karto mendapat beasiswa. Uangnya Rp 60.000 per bulan. Atau sekitar Rp 720.000 setahun.
Jumlah yang luar biasa besar bagi Karto. Meski cara pengambilannya dicicil di kantor pos, uang bea siswa itu terasa sangat membantu. Maka, Karto membelikan satu set kursi sudut lumayan empuk –ketika sedang tren—seharga Rp 700.000. Saat ini kursi-kursi itu masih terderet rapi di ruang tamu rumah ibu, tak jauh dari tubir Cisanggarung.
Liburan sekolah tahun kedua, Karto tak mau menyia-nyiakannya. Dia kembali ikut seorang teman yang bapaknya mandor bangunan. Dia kembali menjadi kuli bangunan. Dia ikut membangun gedung baru pabrik perakitan motor Suzuki, di Tambun, Bekasi. Gajinya lebih naik sedikit ketimbang setahun sebelumnya: Rp 10.000 per hari.
Tapi dia cuma bekerja selama 12 hari saja. Sang mandor, bapaknya teman Karto, kemudian memulangkan beberapa tenaga kerja kuli. Alasannya: bangunan pabrik sudah hampir selesai, sehingga harus ada pengurangan tenaga kerja. Karto tak bisa berbuat apa-apa. Padahal sisa liburan masih setengah bulan lagi.
Uang hasil kerja itupun lumayan buat melunasi uang gedung yang masih tersisa separuhnya: Rp 50.000. Sisanya buat ngasih ibu dan sedikit tabungan.
Singkat cerita: Karto bisa lulus SMU setelah setahun kemudian mendapat bea siswa kembali. Jumlah Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya ketiga tertinggi dari 142 siswa SMU.
Ketika itu, Kus, kakak Karto sudah lulus kuliah dan mengajar di salah satu SMK di Jakarta. Karto memberanikan ikut UMPTN. Ndilallah nasib kembali berpihak. Dia masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, tempat Kus sebelumnya kuliah. Dia mengambil jurusan Ekonomi. Lulus dalam empat tahun saja.
Selama itu, Karto menambah-nambah uang makan dari mengajar privat. Sebab, jatah dari Kus dan ibu sangat tidak cukup untuk biaya hidup di Jakarta yang sudah menjulang. Karto tak menghabiskan sepetak pun sawah di kampung yang tersisa tinggal setengah bau saja.
Setelah dinyatakan lulus, Karto iseng-iseng melamar dengan surat kelulusan pada sebuah penerbitan di Jakarta. Padahal, jurusannya sangat tidak masuk untuk kategori pekerjaan itu. Sebab, seharusnya dia menjadi guru seperti Kus. Itu adalah lamaran pertama Karto. Nasib lagi-lagi berpihak. Dia diterima, setelah menjalani serangkaian tes. Mulai psikotes, wawancara, dan sebagainya. Kini, aku mengenalnya sebagai juru warta.
Punya istri yang dulu teman seangkatan di sekolahnya. Yang ketika sekolah sama sekali tak pernah say helo, misalnya, karena memang Karto minder untuk sekadar kenal saja. Dia cantik, hitam manis ala wanita Jawa. Ketika sekolah, istrinya adalah buruan banyak teman-teman lelaki Karto. Meski sudah mengagumi sejak SMU, Karto tak pernah berniat mendekat. Sebabnya, dia sudah merasa kalah sebelum berlaga.
Kini, Karto sudah punya satu anak dari dia. Punya rumah lewat cicilan BTN di luar Jakarta.
****
****
“Karto, sudah sebulan lebih ibu tak meneleponmu, kangen sekali rasanya,” kata ibu, di ujung telepon, mengulang lagi. “Apa kabar istri dan anakmu,” sambungnya.
“Aku baik-baik saja, bu,” jawab Karto, dengan logat Sunda pinggiran yang kental. “Maaf, ibu, aku belum sempat kirim uang, pekerjaanku padat sekali,” kata Karto.
“Sudahlah, tak usah dipikirkan, biar ibu sama bapak menjual padi saja,” kata ibu.
“Tidak, bu, akan segera saya kirim,” sergah Karto.
“Tidak usah, Nak. Ibu tahu, kebutuhanmu sudah sangat banyak. Kemarin ibu memang sempat ke rumah kakakmu di seberang Cisanggarung sana. Untuk sekadar pinjam uang. Ibu naik angkot sendiri ke sana. Cuma dia sekarang sepertinya sedang banyak kebutuhan juga. Dia bilang, saya kan sudah banyak bantu. Nanti kalo Uban pulang dari Jakarta, ingatkan dia untuk mulang tarima,” kata ibu, menirukan Kus, rada terisak.
Mulang tarima adalah istilah balas budi di daerah Karto. Uban adalah adik pertama Karto yang baru saja menjadi PNS di departemen tadi.
“Cuma ibu bilang, biar saja Uban fokus kerja dulu, jangan direcoki oleh permintaan-permintaan. Memang Kus, kakakmu itu, ketika Uban masih kuliah sesekali memberi uang, hitung-hitung mulang tarima ke ibu, tapi kan yang nanggung biaya kuliah Uban kamu, Karto. Ibu kini merasa bersalah telah merepotkan kalian-kalian,” suara ibu di ujung telepon agak memelan, terdengar terbata. Lamat-lamat malah terisak.
“Ibu tahu, tak bagus membandingkan pemberian dari anak satu dengan anak lainnya. Ibu tak berharap itu, dengan melihat kalian bahagia saja, ibu sudah sangat senang, le,” kata ibu lagi. Sejenak terdiam. Karto pun terus termangu.
“Sudahlah, Bu, kebutuhan Ibu biar saya tanggung,” kata Karto. Bukan niat menjadi pahlawan, kata Karto kepadaku pada lain kesempatan soal omongannya itu. Tapi apa salahnya jika aku bersyukur, kata Karto lagi. Sekarang tanggunganku si Uban udah mulai punya pegangan hidup. Tinggal adik bungsu yang kini di SMU kelas satu.
Benar juga pikirku. Selama ini, Karto hanya sesekali saja kirim uang kepada ibu. Hasil sisihan tabungan sisa uang makan dari kantor. Juga sisa dari jatah Uban kuliah. Karto hingga kini masih saja sederhana. Makan cukup dengan tempe, tahu, ikan asin, telur dadar, sesekali daging ayam. Bahkan, Karto lebih sering membawa bekal makanan dari rumah ke kantor, bekal dari istrinya. Tidak lain agar lebih menghemat pengeluaran. Syukur-syukur bisa menyisakan uang untuk ibu.
Biar Karto menjanjikan akan selalu mengirim uang ke Ibu, kepada ku Karto bilang, jujur ketika mengatakan itu dia punya beban. Sebab, setiap kali Karto harus mengirim uang ke ibu, maka dia seperti punya utang kepada mertua, katanya. Meski secara materi, mertua Karto terbilang lebih, dan memang terpandang di daerah tubir Cisanggarung.
Karto ingin berbuat adil, katanya. Setiap kali mengirim uang ke ibu, Karto ingin juga mengirim kepada mertua. Itu artinya, beban makin bertambah. “Tak enak aku sama istriku setiap kali berniat mengirim uang ke ibu, aku seperti punya utang,” kata Karto, kepadaku. Aku sangat memahami posisi Karto. Dia sekarang punya banyak kebutuhan. Setelah Uban punya kerjaan tetap, Karto berniat pindah rumah.
Rumahnya saat ini terasa sangat jauh jaraknya dari tempat kerja: 47 kilometer sekali perjalanan. Maka, sehari dia bisa menempuh hampir 100 kilometer. Inilah yang mungkin dipahami ibu.
“Ibu tak usah dipikirkan, Karto. Ibu tahu kamu banyak kebutuhan,” kata ibu, sekali mengulang di ujung telepon. Karto terdiam. “Ibu, bapak, aku ingin mengangkat derajat kalian,” tak kuasa Karto mengucapkan kalimat itu. Dia hanya mampu membisikannya ke telinga ku, beberapa hari kemudian. “Ibu, doakan Karto, bu,” di ujung telepon Karto berharap.
sumber : http://bungapadangilalang.blogspot.com/
Di ujung telepon, suaranya terdengar sedikit terbata. “Ibu kehabisan uang, le,” katanya, kepada Karto menjelang malam itu, dengan isak yang tertahan. Dug. Jantung Karto seperti terasa copot. Sudah berapa lama dia tak menghubungi ibu di kampung? Satu minggu, dua minggu, atau satu bulan lebih?
Masya Allah, Karto tak menghubungi bapak dan ibu di tepian gawir Cisanggarung sana selama sebulan lebih. Apa saja gerangan yang telah dia perbuat di Jakarta? Teledor nian kau, Karto. Hingga tak sempat memikirkan mereka.
“Kamu tak usah terganggu dengan omongan ibu soal duit itu, ibu cuma ingin mendengar suaramu saja. Sungguh kangen ibu padamu, le,” katanya, sedikit tersedu. Karto terdiam. Seperti terpengaruh pada omongan pertama ibu tadi: kehabisan duit.
Saat malam baru beranjak turun itu, sengaja Karto menelepon ibu di kampung melalui telepon genggam adik bungsunya. Adik terakhirnya itu kini duduk di bangku kelas satu SMU, di kota kecamatan.
Adiknya dua. Yang pertama kini menclok jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah departemen yang lumayan punya nama dan berpengaruh, baru masuk awal 2009 ini. Setahun lalu, Karto berbaik hati membelikan adik bungsu dan ibu bapak sebuah telepon genggam seken, sekadar untuk say halo dan nanya kabar. Barang seminggu dua.
Kebetulan, setahun setelah pindah kerja ke tempat baru, Karto bisa sedikit-sedikit menabung. Sisihan tabungan, sebagian istrinya menyimpan untuk tabungan keluarga. Sedikit lainnya dia sisihkan untuk bapak ibu, zakat, dan cadangan ibu bapak mertuanya.
Sebelum adik pertamanya masih kuliah dan menjadi PNS, Karto harus membagi sisa tabungan untuk kebutuhan sang adik, juga sesekali mengirimkannya pada ibu.
Sementara uang untuk telepon genggam adik terakhirnya adalah sisihan dari sisa uang bensin selama sebulan sebulan, setelah tak lagi menanggung beban harus membiayai adik pertama. Jadilah uang tabungan itu dia belikan mereka sebuah telepon genggam seken. Pulsanya sebulan sekali dia transfer, cuma secuil saja: Rp 25.000. Karto bilang pada adik terakhir, gunakan pulsa seirit mungkin, “Kalau ada perlu sama kakak, biar kakak telepon dari Jakarta,” kata Karto, ketika menyerahkan telepon genggam seken itu, setahun silam.
*****
*****
Biar kuceritakan sedikit. Aku mengenal keluarga Karto adalah keluarga harmonis. Biar dulu mereka serba kekurangan, kini terlihat cukup sudah, untuk ukuran kampung, tentu saja. Itu penglihatan kasat mataku. Aku mengenal keluarga ini, terutama Karto, yang sejak kecil berteman dengan ku.
Banyak hikmah dan pelajaran kuambil dari kisah hidup mereka. Kisah tentang perjuangan, tentang kemiskinan, tentang ketidaktahuan, tentang kejujuran, tentang tekad baja, tentang kekompakan, juga tentang kebahagiaan.
Karto adalah anak kedua dari empat bersaudara. Bapak dan ibunya adalah buruh tani di tubir Cisanggarung, daerah yang membentang antara Gunung Ciremai di Jawa Barat, dan Gunung Slamet di Jawa Tengah. Mereka punya lahan sawah yang kalo dihitung paling cuma beberapa petak saja, mungkin mendekati satu bau – satu bau sama dengan 0,7 hektare--, barangkali tak lebih dari setengah hektare.
Itupun sawah warisan. Hanya cukup untuk makan. Sisa kebutuhan untuk hidup, bapak Karto harus menjadi kuli di sawah tetangga. Atau sesekali ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Tapi itu dulu, sekarang tidak.
Dua puluh tahun lalu, sementara bapaknya rutin ke sawah atau merantau ke Jakarta, ibunya harus ke sana kemari, ke rentenir satu dan ke tuan tanah lain. Pinjam duit. Kakak pertama Karto, Kus, ketika itu masih Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di kota kabupaten. SPG adalah tujuan sekolah paling ideal untuk keluarga tak berpunya, seperti Karto.
Itupun tak gampang. Sebab, ada saja cibiran dari para tetangga Karto. Buat apa sekolah, sementara biaya tak ada, harus ngutang sana-sini. Mimpi kali ye. Tak ada trah atau darah jadi orang gedean. Cacah kuricakan (kelas terendah masyarakat) ya tetap cacah kuricakan saja. Tak usah bermimpi jadi orang gedean.
“Pasti tak akan jadi orang,” begitu cibiran yang masih saja aku, juga Karto, dengar hingga kini, dari mereka, dari para tetangga itu. Ibunya tak peduli. Harapan besar menjadikan anak-anak bernasib lebih baik ketimbang dia.
Maka, ketika mendengar selentingan Kus mengamen di jalanan kota kabupaten untuk membayar uang kos-kosan yang mepet, suatu malam, ibu menangis sejadi-jadinya. Tak rela, rupanya. Entah itu kabar burung dari siapa. Mungkin ada tetangga yang melihat Kus memang benar suka mengamen untuk sekadar nambah uang makan, usai pulang sekolah.
Sekolah di daerah Karto adalah barang mahal. Tak sembarang orang bisa sekolah hingga SPG, ketika itu. Nyatanya, “Tuhan Maha Adil,” kata ibu Karto, ketika Kus akhirnya lulus dari SPG.
Tapi, sampai di situ pun sengsara belum juga berbuah nikmat. Pada 1991, ketika Kus tamat dari SPG itu, kebijakan baru pemerintah tak memungkinkan lulusan SPG menjadi langsung seorang guru. Semua harus melewati bangku kuliah. Apa mau dikata. Jika tak melanjutkan kuliah, maka sia-sia saja sekolah di SPG. Tak akan bisa menjadi guru. Cita-cita yang Kus, juga Karto, idam-idamkan sejak kecil.
Jika ada dua orang temannya dari tetangga kampung Karto memilih tak melanjutkan kuliah, Kus nekad. Modal tak ada, uang pun tipis, Kus merantau ke Jakarta, usai lulus dari SPG itu. Benar-benar mengadu nasib.
Modalnya cuma kenalan yang bekerja di sebuah proyek bangunan di Jakarta. Iseng-iseng ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ndilallah keterima. Dia terjaring di Jurusan Bahasa Inggris sebuah perguruan tinggi negeri yang meluluskan para guru di Jakarta.
Gembira, sekaligus bingung. Jika diambil, maka akan sangat pusing tujuh keliling dengan biaya. Dasar bondo nekad, Kus memutuskan untuk kuliah. Tak ada cerita, juga tak ada bilang ke ibu bapak. Benar-benar nekad. Sendiri.
Ada gunanya juga punya teman bekerja di proyek bangunan. Maka Kus nekad melamar menjadi tenaga kebersihan di proyek itu. Entah karena kasihan, atau memang sedang butuh, mandor proyek yang juga tetangga di kampung itu menerima Kus. Jadilah Kus bekerja menjadi tenaga kebersihan proyek. Pagi kuliah, sorenya bekerja di antara debu-debu bangunan.
Pekerjaan di proyek sedikit membantu keuangan. Cuma itu tak terlalu menutupi kebutuhan kuliah. Maka, setelah beberapa bulan kuliah, Kus memutuskan pulang kampong mengadu ke ibu: kehabisan duit. Pusing tujuh keliling nian ibu bapak Karto saat itu. Maka, ibu memutuskan pinjam ke seorang rentenir. Bunganya sangat mencekik: 50% setahun.
Apa daya. Pinjaman kemudian mengucur, esoknya, meski cuma cukup untuk bayar uang semesteran. Jumlahnya Rp 200.000. Sisa untuk kebutuhan makan, cari sendiri di proyek bangunan.
Soal bayar ke rentenir, bisa dicicil tiap bulan dari hasil panen padi atau palawija. “Ibu cuma sanggup memberi segini,” kata ibu Karto, dengan suara dalam, ketika itu. Kus menerima, sambil tertunduk, mungkin merasa bersalah sudah merepotkan, lantas kembali ke Jakarta.
Kehidupan prihatin membawa Kus punya tekad baja. Harus lulus, meski tersendat. Singkat cerita, Kus sukses lulus sarjana dari perguruan tinggi negeri itu, tujuh tahun berselang. Dia terbilang lama kuliah, karena sekali dua mengambil jatah cuti, hanya untuk sekadar mengumpulkan tambahan biaya.
Selama itu, dia beberapa kali pindah kerja di proyek, dagang sepatu, menjajakan pakaian, dan mengajar privat Bahasa Inggris. Sementara di rumah sana, bapak dan ibu Karto sudah menghabiskan sawah setengah bau, separuh dari yang ada, untuk membayar uang semesteran Kus. Juga sesekali bekal makan di Jakarta.
Itu sudah termasuk sangat ngirit. Salah satu tetangga, yang juga menguliahkan anaknya, habis dua bau, taksirannya sekitar satu setengah hektare sawah. Modal orang kampong, petani, tak punya gaji, hanya sawah jika mau menyekolahkan anak hingga ke bangku kuliah. Tak ada lain.
Selepas lulus kuliah, Kus agaknya tak tahan hidup di Jakarta. Penghasilan seorang guru di Jakarta seperti menjepit kebutuhan. Maka, dua tahun berselang, Kus memutuskan kembali ke kampung. Mencoba mengadu nasib, daftar calon PNS.
Dasar nasib lagi baik, tahun itu juga Kus langsung diterima menjadi PNS. Setahun setelah jaman reformasi, satu tahun setelah pergantian kekuasaan Orde Baru, sogok menyogok, dan suap menyuap seperti hilang ditelan bumi. Tak seperti sebelumnya. Maka, Kus ketiban berkah jaman.
Dia masuk PNS dengan hasil tes murni. Tak secuil uang sogok pun dia keluarkan. Jika pun jaman masih seperti dulu, harus ada praktek-praktek cula, harus mencari uang dari mana jika harus membayar jabatan guru PNS itu? Lebih baik mundur dan berkarir jadi guru honorer, barangkali.
Kus kemudian mengajar di SMP di ibukota kecamatan. Setahun berselang, Kus lantas menikah dengan tetangga, yang baru lulus dari Akademi Kebidanan. Harus mencari jodoh sepadan, barangkali. Istrinya praktek di pinggiran kota di seberang Cisanggarung. Mereka kemudian menganyam hidup. Kini sudah punya dua anak. Punya pekarangan luas, dua sepeda motor, juga sebuah kendaraan roda empat.
****
****
Tiga tahun menjelang Kus lulus, Karto masuk SMU. Letaknya di ibukota kecamatan, sekolah yang sama dengan dua adiknya. Tadinya ibu sudah berkebaratan Karto melanjutkan SMU. “Lebih baik kamu kerja seperti orang-orang sekampung ini saja, merantau ke Jakarta, kerja di proyek-proyek bangunan, dapat uang,” kata ibu kepada Karto, suatu sore.
Karto mendongak. Nilai Ebtanas Murni (NEM) Karto terbesar kedua di SMP. Saat itu murid SMP ada sekitar 146 siswa. “Mana mungkin aku berhenti begitu saja,” kata Karto, membela diri.
Karto sepertinya mewarisi sifat ibu, yang juga turun ke Kus: keras kepala dan memegang prinsip. Itu pandanganku, yang ada di luar keluarga mereka. Karto keukeuh ingin melanjutkan ke SMU. Maka menjelang pembukaan murid baru, beberapa hari selepas lulus SMP, Karto ke sana ke mari mendaftarkan diri ke SMU, tujuh kilometer jauhnya dari rumah.
Lantaran sepeda pun tak punya, Karto terpaksa bolak-balik meminjam sepeda ke uwa –sebutan untuk kakak ibu atau bapak—dari bapak. Singkat kata, Karto tak susah masuk ke SMU di ibukota kecamatan.
Sampai sini Karto sumringah, sekaligus bimbang. Darimana uang untuk membayar SPP per bulan, atau uang bangunan, yang jumlahnya bisa untuk membeli dua kwintal padi itu? Sarana transportasi pun belum ada, sepeda pun tak punya. Sementara uang ibu bapak tersedot untuk mambantu biaya Kus yang sedang genting-gentingnya kuliah.
Sisi lain, ibu ingin memperbaiki rumah yang sudah bocor di sana-sini. Rumah joglo tua itu memang sudah saatnya dibongkar. Apalagi, ketika itu di kampung sedang tren membangun rumah, membongkar rumah joglo menjadi sedikit modern. Tren itu muncul setelah orang-orang sekampung Karto rame-rame mengadu nasib ke Jakarta. Ada yang jadi kuli bangunan, berdagang asongan, atau membuka warung makan.
Tak hilang akal, setelah pengumuman Karto diterima SMU itu keluar, Karto nekad juga ke Jakarta. Dia ikut seorang teman yang menjadi kenek tukang bangunan di bilangan Ciracas, Jakarta Timur. Karto juga menjadi kenek bangunan. Dia masih ingat betul, ketika itu ikut membangun rumah susun untuk polisi di Ciracas tersebut.
Tiga pekan lamanya di sana. Dengan gaji Rp 7.500 per hari, Karto bisa menggembol uang Rp 100.000, setelah dikurangi uang makan. Dia makan seirit mungkin agar bisa membawa uang untuk bayar uang bangunan, kalo bisa sedikit memberi buat ibu.
Alangkah bahagianya jika bisa turut memberi secuil uang itu untuk ibu, meski cuma untuk beli lauk yang lebih baik ketimbang makanan sehari-hari, yang cuma ikan asin atau tempe itu.
Uang segitu ternyata sangat berharga bagi Karto. Separuhnya untuk mencicil uang bangunan sekolah. Sedikit juga untuk memberi ibu, meski ibu rada menolaknya. Sebagian kecil lagi untuk membeli sepeda seken. Saat itu angkutan ke kota kecamatan belum ada. Yang ada cuma dokar bertenaga kuda.
Menjelang masuk SMU itu, Karto harus keliling dari bengkel sepeda yang satu ke bengkel sepeda lain di kampung. Mana tahu ada sepeda seken yang bisa untuk kendaraan sekolah. Syukurlah, di sebuah bengkel di ujung desa, ada seonggok sepeda bekas, dengan ban sudah belel, dan rantainya yang berkarat. Tak pikir panjang, Karto membelinya. Harganya Rp 35.000. Uangnya dari sisa kuli di Jakarta. Dia sedikit lega. Satu soal sudah teratasi.
Maka, mulailah Karto sekolah. Tiap hari menggoes sepeda baru yang tua itu, ke sekolah. Berkali-kali, dia harus membenarkan tali rantai sepeda yang kerap lepas, di jalanan menuju sekolah. Sementara teman-teman lain, saling dahulu mendahului. Ada yang memakai sepeda baru, beberapa juga mengendarai sepeda motor. Karto cuma penyendiri. Lebih jarang bergaul dengan teman sekolah. “Aku tak mau merepotkan orang lain,” katanya, kepadaku suatu sore.
Sehabis pulang sekolah, Karto harus pergi ke ladang untuk sekadar cari rumput buat kambing-kambingnya. Bapak memelihara beberapa ekor kambing hanya sekadar untuk tambalan kebutuhan hidup. Syukur-syukur bisa untuk menambal biaya sekolah.
Banyak manfaatnya juga Karto hidup prihatin. Teman-temannya yang sesama penggembala kambing, bukan anak-anak muda yang suka foya-foya, membawa Karto hidup sederhana. Betapa uang jajan seorang anak SMU lain sangat tak sebanding dengan uang jajan Karto.
Pada medio 1990-an itu, Karto hanya menggenggam Rp 200 per hari untuk sekadar uang jajan ke sekolah. Saat itu, harga sebuah bala-bala – di daerah lain disebut bakwan—sudah Rp 100 per buah. Sementara seporsi piring nasi plus bumbu kuah sudah Rp 500. Jadi, Karto harus menabung hingga seminggu lamanya agar bisa sekali makan di kantin sekolah.
Itupun jika sepeda tuanya tak mengalami rusak, seperti putus rantai dan ban meletus. Untunglah, Karto sudah terbiasa puasa Senen Kamis. Jadi, tak soal jika tak bisa jajan di kantin.
Sifat penyendiri membuat Karto tak biasa menggantungkan apapun pada orang lain. Termasuk soal belajar. Kebetulan, Karto terbilang menonjol di antara teman-temannya. Kelas satu SMU, dengan system catur wulan, Karto dua kali jadi juara satu, dan sekali juara dua. Maka, memasuki kelas dua, Karto mendapat beasiswa. Uangnya Rp 60.000 per bulan. Atau sekitar Rp 720.000 setahun.
Jumlah yang luar biasa besar bagi Karto. Meski cara pengambilannya dicicil di kantor pos, uang bea siswa itu terasa sangat membantu. Maka, Karto membelikan satu set kursi sudut lumayan empuk –ketika sedang tren—seharga Rp 700.000. Saat ini kursi-kursi itu masih terderet rapi di ruang tamu rumah ibu, tak jauh dari tubir Cisanggarung.
Liburan sekolah tahun kedua, Karto tak mau menyia-nyiakannya. Dia kembali ikut seorang teman yang bapaknya mandor bangunan. Dia kembali menjadi kuli bangunan. Dia ikut membangun gedung baru pabrik perakitan motor Suzuki, di Tambun, Bekasi. Gajinya lebih naik sedikit ketimbang setahun sebelumnya: Rp 10.000 per hari.
Tapi dia cuma bekerja selama 12 hari saja. Sang mandor, bapaknya teman Karto, kemudian memulangkan beberapa tenaga kerja kuli. Alasannya: bangunan pabrik sudah hampir selesai, sehingga harus ada pengurangan tenaga kerja. Karto tak bisa berbuat apa-apa. Padahal sisa liburan masih setengah bulan lagi.
Uang hasil kerja itupun lumayan buat melunasi uang gedung yang masih tersisa separuhnya: Rp 50.000. Sisanya buat ngasih ibu dan sedikit tabungan.
Singkat cerita: Karto bisa lulus SMU setelah setahun kemudian mendapat bea siswa kembali. Jumlah Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya ketiga tertinggi dari 142 siswa SMU.
Ketika itu, Kus, kakak Karto sudah lulus kuliah dan mengajar di salah satu SMK di Jakarta. Karto memberanikan ikut UMPTN. Ndilallah nasib kembali berpihak. Dia masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, tempat Kus sebelumnya kuliah. Dia mengambil jurusan Ekonomi. Lulus dalam empat tahun saja.
Selama itu, Karto menambah-nambah uang makan dari mengajar privat. Sebab, jatah dari Kus dan ibu sangat tidak cukup untuk biaya hidup di Jakarta yang sudah menjulang. Karto tak menghabiskan sepetak pun sawah di kampung yang tersisa tinggal setengah bau saja.
Setelah dinyatakan lulus, Karto iseng-iseng melamar dengan surat kelulusan pada sebuah penerbitan di Jakarta. Padahal, jurusannya sangat tidak masuk untuk kategori pekerjaan itu. Sebab, seharusnya dia menjadi guru seperti Kus. Itu adalah lamaran pertama Karto. Nasib lagi-lagi berpihak. Dia diterima, setelah menjalani serangkaian tes. Mulai psikotes, wawancara, dan sebagainya. Kini, aku mengenalnya sebagai juru warta.
Punya istri yang dulu teman seangkatan di sekolahnya. Yang ketika sekolah sama sekali tak pernah say helo, misalnya, karena memang Karto minder untuk sekadar kenal saja. Dia cantik, hitam manis ala wanita Jawa. Ketika sekolah, istrinya adalah buruan banyak teman-teman lelaki Karto. Meski sudah mengagumi sejak SMU, Karto tak pernah berniat mendekat. Sebabnya, dia sudah merasa kalah sebelum berlaga.
Kini, Karto sudah punya satu anak dari dia. Punya rumah lewat cicilan BTN di luar Jakarta.
****
****
“Karto, sudah sebulan lebih ibu tak meneleponmu, kangen sekali rasanya,” kata ibu, di ujung telepon, mengulang lagi. “Apa kabar istri dan anakmu,” sambungnya.
“Aku baik-baik saja, bu,” jawab Karto, dengan logat Sunda pinggiran yang kental. “Maaf, ibu, aku belum sempat kirim uang, pekerjaanku padat sekali,” kata Karto.
“Sudahlah, tak usah dipikirkan, biar ibu sama bapak menjual padi saja,” kata ibu.
“Tidak, bu, akan segera saya kirim,” sergah Karto.
“Tidak usah, Nak. Ibu tahu, kebutuhanmu sudah sangat banyak. Kemarin ibu memang sempat ke rumah kakakmu di seberang Cisanggarung sana. Untuk sekadar pinjam uang. Ibu naik angkot sendiri ke sana. Cuma dia sekarang sepertinya sedang banyak kebutuhan juga. Dia bilang, saya kan sudah banyak bantu. Nanti kalo Uban pulang dari Jakarta, ingatkan dia untuk mulang tarima,” kata ibu, menirukan Kus, rada terisak.
Mulang tarima adalah istilah balas budi di daerah Karto. Uban adalah adik pertama Karto yang baru saja menjadi PNS di departemen tadi.
“Cuma ibu bilang, biar saja Uban fokus kerja dulu, jangan direcoki oleh permintaan-permintaan. Memang Kus, kakakmu itu, ketika Uban masih kuliah sesekali memberi uang, hitung-hitung mulang tarima ke ibu, tapi kan yang nanggung biaya kuliah Uban kamu, Karto. Ibu kini merasa bersalah telah merepotkan kalian-kalian,” suara ibu di ujung telepon agak memelan, terdengar terbata. Lamat-lamat malah terisak.
“Ibu tahu, tak bagus membandingkan pemberian dari anak satu dengan anak lainnya. Ibu tak berharap itu, dengan melihat kalian bahagia saja, ibu sudah sangat senang, le,” kata ibu lagi. Sejenak terdiam. Karto pun terus termangu.
“Sudahlah, Bu, kebutuhan Ibu biar saya tanggung,” kata Karto. Bukan niat menjadi pahlawan, kata Karto kepadaku pada lain kesempatan soal omongannya itu. Tapi apa salahnya jika aku bersyukur, kata Karto lagi. Sekarang tanggunganku si Uban udah mulai punya pegangan hidup. Tinggal adik bungsu yang kini di SMU kelas satu.
Benar juga pikirku. Selama ini, Karto hanya sesekali saja kirim uang kepada ibu. Hasil sisihan tabungan sisa uang makan dari kantor. Juga sisa dari jatah Uban kuliah. Karto hingga kini masih saja sederhana. Makan cukup dengan tempe, tahu, ikan asin, telur dadar, sesekali daging ayam. Bahkan, Karto lebih sering membawa bekal makanan dari rumah ke kantor, bekal dari istrinya. Tidak lain agar lebih menghemat pengeluaran. Syukur-syukur bisa menyisakan uang untuk ibu.
Biar Karto menjanjikan akan selalu mengirim uang ke Ibu, kepada ku Karto bilang, jujur ketika mengatakan itu dia punya beban. Sebab, setiap kali Karto harus mengirim uang ke ibu, maka dia seperti punya utang kepada mertua, katanya. Meski secara materi, mertua Karto terbilang lebih, dan memang terpandang di daerah tubir Cisanggarung.
Karto ingin berbuat adil, katanya. Setiap kali mengirim uang ke ibu, Karto ingin juga mengirim kepada mertua. Itu artinya, beban makin bertambah. “Tak enak aku sama istriku setiap kali berniat mengirim uang ke ibu, aku seperti punya utang,” kata Karto, kepadaku. Aku sangat memahami posisi Karto. Dia sekarang punya banyak kebutuhan. Setelah Uban punya kerjaan tetap, Karto berniat pindah rumah.
Rumahnya saat ini terasa sangat jauh jaraknya dari tempat kerja: 47 kilometer sekali perjalanan. Maka, sehari dia bisa menempuh hampir 100 kilometer. Inilah yang mungkin dipahami ibu.
“Ibu tak usah dipikirkan, Karto. Ibu tahu kamu banyak kebutuhan,” kata ibu, sekali mengulang di ujung telepon. Karto terdiam. “Ibu, bapak, aku ingin mengangkat derajat kalian,” tak kuasa Karto mengucapkan kalimat itu. Dia hanya mampu membisikannya ke telinga ku, beberapa hari kemudian. “Ibu, doakan Karto, bu,” di ujung telepon Karto berharap.
sumber : http://bungapadangilalang.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar