Rabu, 27 Mei 2009

"Bahan Bakar Nabati"

Oleh: Widjajono Partowidagdo

Pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bahan Bakar Nabati (BBN). Pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan BBN (Kepres No. 10 Tahun 2006) telah mengeluarkan Blue Print Pengembangan BBN. Walaupun demikian, di internet banyak keluhan tentang macetnya program tersebut. Seorang teman yang waktu tahun 2006 (ketika Tim Nasional Pengembangan BBN dibentuk) sangat bersemangat mengembangkan jarak di Sumbawa, ketika penulis tanya pada Juni 2008 bagaimana jaraknya, menjawab lesu: ?Mas, aku sudah berhenti. Gimana mau untung kalau dibeli dibawah Rp 1000/kg?.

Kebetulan penulis mendapat DVD dari DESDM (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral) tentang Desa Mandiri Energi di Nusa Penida yang diresmikan Bapak Presiden SBY. Pada DVD semua terlihat bagus, sehingga penulis dan beberapa kawan mengunjungi pulau tersebut pada 6 Juli 2008, naik speed boat dari Sanur. Listrik dari kincir angin dan sinar matahari memang beroperasi karena barang impor dan tidak ada hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat, tetapi program energi dari jarak (biodiesel) dan dari kotoran sapi (biogas) macet. Mesin pemeras jarak serta pemroses kotoran sapi dan kompor biogasnya ada, tetapi hanya digunakan untuk peragaan, kalau ada permintaan. Petani mengatakan bahwa tidak ada jaminan pembelian dan harga beli buah jarak, disamping mereka tidak mempunyai sarana untuk menggunakan jarak tersebut untuk kepentingan sendiri (memasak misalnya).

Pada waktu mendaki Kala Pattar (5545 m) di Himalaya April 2007, penulis mendapati pada daerah yang masih ada airnya, penduduk menggunakan microhydro untuk listrik dan sampai Gorak Shep (sekitar 5000 m) penduduk masih menggunakan kotoran yak (sapi berbulu panjang) dan manusia untuk memasak dan pemanasan ruangan. Nepal tidak mensubsidi BBM (Bahan Bakar Minyak).

Kebetulan penulis menjadi salah satu pemenang lomba makalah dengan topik ?Memperkuat Ketahanan Energi dan Pangan Nasional dalam Era Persaingan Global? dan mempresentasikannya pada Sidang Pleno ISEI XIII (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di Senggigi, Lombok 17 Juli 2008. Ketika penulis menyatakan di internet banyak keluhan tentang pengembangan jarak, Pak Abdul Hakim Kepala Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) menawarkan kesediaannya untuk mengantar apabila penulis menginginkan untuk mengetahui keberhasilan pemanfaatan jarak di KSB.

Singkatnya, 10 Agustus 2008 kami menemui Kelompok Tani yang dipimpin oleh Bapak Dahlan di Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat. Kami diantar ke lokasi tanaman jarak di bukit lalu menuju ke tempat Pemurnian Minyak Jarak (Pure Oil Plant) dan tempat pemeras jarak yang dibuat oleh PT Pura Barutama. Pak Dahlan menjelaskan bahwa dalam tahun 2008 kelompoknya telah mengirim 318,3 ton jarak yang dikirim ke: Solo: 74 ton, Banyuwangi: 51 ton, Pati: 57,5 ton, Sumbawa Besar: 17,8 ton dan dari Jereweh dan Brang Rea dikirim ke Semarang 118 ton. Dikeluhkan ada pembeli yang berjanji membeli Rp 1250 /kg di depan Kepala Dinas tetapi ketika petugasnya datang hanya mau beli Rp 1000 /kg akibatnya kelompok Tani tidak mau menjual biji yang sudah kering untuk biodiesel, tetapi hanya menjual biji untuk bibit (yang cukup diangin-anginkan) karena harganya jauh lebih mahal yaitu Rp 3000-7000. Walaupun demikian kalau hanya menjual untuk bibit tentunya yang dijual terbatas. Apabila mau memproduksi sampai ribuan ton tentunya harus dijual sebagai bahan bakar atau untuk konsumsi sendiri.

Senin, 11 Agustus 2008 kami berkunjung ke kelompok tani di desa Brang Rea dan diterima oleh ketua kelompok yaitu Bapak Dulah. Jalan menuju ke tempat tersebut relatif sulit karena jalan yang kita lalui harus menyusuri bantaran sungai dan sesekali mobil harus menyeberangi sungai berbatu. Lahan yang digarap oleh kelompok tani ini relatif lebih baik karena dekat dengan sungai. Namun sangat disayangkan belum ada sama sekali buah jarak yang pernah mereka panen. Hal ini dikarenakan sosialisasi pengolahan paska panen belum mereka ketahui, baik pengolahan bijih jarak maupun pemerasan minyak jaraknya. Mereka berharap dapat mengunakan minyak jarak ini untuk keperluan memasak dengan adanya bantuan pengadaan kompor minyak jarak serta mesin pemerasnya. Hal ini untuk mendorong semangat para petani yang dibina sehingga mereka berniat untuk merawat tanaman jarak yang sudah mereka tanam.

Selanjutnya kami menuju ke kelompok tani di desa Jelenga, kecamatan Jereweh. Ketua kelompoknya, Bapak Kusmayadi menyatakan bahwa biji jaraknya dibeli dengan harga Rp 1250 /kg berapapun produksinya (4 kg sekalipun). Mereka mengharapkan memperoleh kompor minyak jarak, mesin pemipil serta mesin pemeras manual. Mereka menanam jarak dengan pola tumpangsari (2 x 5 meter) dan sistem pengairannya menggunakan sumur pompa, dimana sumur disumbang oleh Pemda dan infrastrukturnya disumbang oleh Newmont.

Dalam Perjalanan pulang ke Mataram, penulis sedih mengetahui bahwa para petani tembakau di Lombok Timur yang mengeluh karena minyak tanah langka ketika panen. Akibatnya, tembakaunya tidak dikeringkan dan busuk. Padahal Lombok Timur punya tanaman jarak banyak, tetapi petani belum paham mengubahnya menjadi energi.

Institut Teknologi Bandung (ITB) juga melakukan pembinaan pemanfaatan jarak di kabupaten Ciamis, Jawa Barat di Kecamatan Rajadesa dan Kecamatan Parigi. ITB menyediakan bibit, memberi penyuluhan tentang pemilihan bibit, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, teknologi pengolahan serta menyediakan peralatan pengolahan yaitu mesin penghancur kulit biji jarak, mesin penggiling daging biji jarak, mesin pres manual, membran dan kompor. Pembinaan dimaksudkan terutama agar masyarakat bisa menggunakan jarak sebagai pengganti minyak tanah untuk memasak, sampai saat ini Kecamatan Rajadesa lebih berhasil dari Kecamatan Parigi.

Di beberapa tempat program pengembangan jarak berhasil, walaupun di banyak tempat jalan ditempat. Keberhasilan pengembangan jarak tergantung kepada:

1. Petani tahu dan percaya kegunaan pemanfaatan biofuel (biodiesel dan bioethanol) dan adanya pemimpin Kelompok Tani yang dipercaya dan profesional.

2. Keaktifan Pemerintah Daerah (dalam hal ini Dinas Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan), Pengusaha, Perguruan Tinggi atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam sosialisasi pemanfaatan dan membina kelompok Tani di daerahnya.

3. Kerjasama antar instansi (Departemen), terutama ESDM, Perindustrian dan Perkebunan.

4. Terdapatnya pembeli dengan harga beli yang menarik dan kontinyu serta menepati harga beli yang sudah dijanjikan.

5. Kualitas bibit yang baik, sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi.

6. Lahan yang memang cocok untuk tanaman tersebut.

7. Tersedianya alat pemroses yang ekonomis.

8. Tersedianya sarana untuk memanfaatkan biofuel untuk digunakan petani (misal: kompor untuk jarak).

Seyogyanya keberhasilan pengembangan jarak untuk biodiesel disiarkan di media baik cetak, radio maupun televisi supaya dapat ditiru di tempat lain. Hal serupa perlu dilakukan untuk bioethanol (perlu peragian) dari ketela, tebu dan lain-lain. Program tersebut paling tidak dapat mengatasi permasalahan untuk memasak karena mahal atau langkanya minyak tanah. Dalam kasus Lombok Timur, penduduk bisa menggunakan minyak jarak untuk mengeringkan tembakau.

Apabila dapat memanfaatkan lahan-lahan yang menganggur atau kritis, maka disamping bisa menahan erosi dan mencegah banjir, pendapatan penduduk meningkat sehingga mengurangi kemiskinan. Pasar biofuel akan meningkat dimasa depan karena tingginya harga minyak dan makin ketatnya persyaratan lingkungan. Syaratnya, pemerintah harus menjamin kalau panen dibeli dengan harga yang menguntungkan. Misalnya untuk kasus jarak minimal Rp 1250/kg.

Dalam kasus KSB diharapkan Newmont dalam program CSR (Corporate Social Responsibility) dapat membantu pengembangan biofuel disamping dapat memanfaatkannya untuk kebutuhan BBM dan listriknya yang besar. Untuk daerah-daerah lain diharapkan partisipasi Pertamina, PLN dan perusahaan-perusahaan lain.

Perlu adanya kerjasama antar pemerintah, pengusaha, akademisi dan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Tujuan kita bernegara bukan hanya masyarakat yang makmur, tetapi juga adil. Untuk itu dibutuhkan anggota masyarakat yang beriman, beramal saleh dan selalu mengingatkan akan kebenaran dan kesabaran.

Penulis adalah Guru Besar ITB

Disampaikan pada: Roundtable Discussion Lemhanas di Jakarta, 18 September 2008

Read More........

"PEMKAB BREBES SIAPKAN PROGRAM KONVERSI MINYAK"

Pemkab Brebes mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk bersiap-siap menyongsong program konversi minyak tanah (Mitan) ke gas. Untuk itu, Pemkab melalui konsultan yang dibantu Camat maupun Kepala desa saat in tengah melakukan pendataan bagi penerima kompor dan tabung gas. Pemerintah Kabupaten Brebes mendukung penuh konversi minyak tanah ke gas, saat ini Pertamina dibantu konsultan dengan dukungan camat dan Kades tengah melakukan pendataan kepada rumah tangga penerima, kata wakil Bupati Brebes H Agung Widiyantoro SH.MSi saat berada di Kecamatan Paguyangan Senin kemarin / lalu. Sebagai bentuk kesiapan tersebut, di Kabupaten Brebes Telah dilakukan pendirian stasiun pengisian dan pengangkutan LPG yakni tersebut di tiga wilayah, Wanasari, Wanacala dan Tonjong. Menurut Wakil Bupati Brebes, syarat yang diajukan warga sebagai penerima bantan kompor dan tabung gas LPG yalni bukti identitas diri melalui KTP, kartu kelaurga (KK) dan juga masyarakat urban. "Bagi masyarakat yang pengeluarannya kurang dari Rp 1,5 juta perbulan juga berhak mendapatkan bantuan tersebut.
Wakil Bupati juga menghimbau kepada seluruh masyarakat serta Camat maupun Kepala Desa, agar membantu pelaksanaan pendataan secermat mungkin. Hal tersebut sebagai upaya antisipasi bantuan tidak tepat sasaran. "Jangan sampai yang tidak berhak menerima justru menerima, pengalaman di kota lain justru konsultan yang melakukan pendataan ditumpangi oknum yang berharap keuntungan dari program konversi ini.
Wakil Bupati juga mengingatkan bahwa Kabupten Brebes saat ini baru melakukan pendataan, sehingga jika ternyata ditemukan tabung gas LPG ukuran 3 kilogram dijual bebas di pasaran, berarti tabung itu bukan untuk Kabupaten Brebes. "Saat ini kalau ada yang menjual tanpa izin, maka itu adalah tabung gelap. Semestinya tabung itu ditujukan untuk daerah lain, itu termasuk penyelundupan.
Bagi warga yang menggunakan minyak tanah namun tidak mampu membeli LPG, Wakil Bupati berharap jangan sampai warga merambah hutan untuk diambil kayunya. "Bisa langsung melapor pada Kepala Desa atau Camat dan bisa diusulkan. Setelah pendataan selesai maka selanjutnya tabung akan mulai dibagikan, dan berpesan agar warga penerima jangan terhasut oleh bujukan untuk menjual tabung maupun kompor tersebut.


Sumber BAg HUmas dan Protokol (http://www.brebeskab.go.id)
Read More........

"Kelompok tani dapat bantuan"

Brebes - Kelompok Tani Ternak Itik Adem Ayem Kabupaten Brebes yang juga menjadi anggota Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) akan menerima bantuan itik dari Departemen Pertanian. Bantuan tersebut berupa itik sebanyak 325.000 ekor.
Ketua KTTI Adem Ayem Atmo Suwito Rasban SE Senin lalu mengatakan bantuan itik untuk kelompoknya disalurkan pada tahun 2010. Bantuan tersebut ditujukan kepada masing-masing peternak sebanyak 5.000 ekor sedangkan Untuk peternak yang tergabung di kelompok Adem Ayem ada 65 orang, dari jumlah peternak tersebut, maka bantuan keseluruhan mencapai 325.000 ekor.

Lebih lanjut dikatakan Bantuan berupa itik dipastikan akan sampai kepada KTTI Adem Ayem yang ada di Kabupaten Brebes pada Tahun 2010 ini . upaya ini dilakukan agar para peternak bisa lebih maju. Saat ini, beternak masih dianggap oleh masyarakat sebagai pengghasilan sampingan, padahal apabila kegiatan beternak dikelola secara maksimal, maka akan menjadi penghasilan utama petani.


Dikatakan juga Untuk ternak itik, apabila petani memiliki 4000 sampai 5000 ekor itik, maka bisa dipastikan petani akan mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp 12 juta tiap bulan. Jumlah penghasilan tersebut cukup untuk membantu peternak untuk bisa menyekolahkan anaknya ke tingkat perguruan tinggi.


Ketua KTTI Adem Ayem Atmo Suwito Rasban SE juga berharap, masyarakat Kabupaten Brebes memiliki tingkat asupan makanan yang lebih baik. Asupan tersebut berupa telur, daging dan susu. Hal tersebut bisa terealisasi apabila masyarakat Kabupaten Brebes mampu mengolah sumber daya yang ada. Salah satunya dengan beternak. Apabila keberadaan ternak unggas maupun kambing bisa menyebar di tiap Kecamatan, maka kebutuhan asupan makanan tersebut akan mudah terealisasi.

Sumber: http://www.brebeskab.go.id
Read More........

Selasa, 26 Mei 2009

"Si Kaya dan Si Miskin"

Tahukah anda, kenapa orang kaya semakin kaya, kelas menengah terus bergumul, dan yang berada di level miskin makin menjadi miskin?

Orang kaya semakin kaya karena begitu penghasilan orang kaya bertambah besar, mereka menunda kesenangan, dan terus menjalani gaya hidup yang sama. Penghasilan yang lebih ini mereka investasikan kedalam aset seperti misalnya membeli saham yang menghasilkan deviden, membangun rumah kost kost-an, ruko yang dikontrakkan, Mall yang
disewakan, membuka bisnis sarang walet, dll.

Begitu seterusnya, sehingga penghasilan mereka bertambah besar. Dan pada saat penghasilan mereka bertambah besar lagi, mereka investasikan lagi ke dalam asset tersebut diatas, sehingga semakin kaya dan semakin kaya lagi.

Bagaimana dengan orang menengah?Kenapa mereka bergumul terus secara financial? Ketika orang menengah penghasilannya bertambah besar maka mereka menggunakan kelebihan uang tersebut untuk mencicil rumah yang lebih besar, mobil yang lebih besar, handphone yang lebih canggih, komputer yang lebih modern, televisi yang lebih besar, audio yang lebih canggih dan lain-lain.

Orang menengah ini bisa memiliki rumah yang besar, mobil yang besar tapi tidak mempunyai uang yang bekerja untuk dia. Dan seumur hidupnya menjadi budak uang karena membayar cicilan semakin besar seumur hidupnya.

Lalu bagaimana dengan kaum miskin? Orang miskin tidak perduli seberapa besar pun penghasilannya semua akan masuk ke pengeluaran. Orang miskin begitu penghasilannya bertambah besar mereka beli TV yang mereka idamkan, beli jam yang lebih keren, beli hp yang lebih baru, beli baju mahal, makan di restoran mewah, ikut keanggotaan fitness, ikut asuransi yang tidak perlu, dll.

Berada digolongan manakah anda?

Bila penghasilan Anda bertambah besar, Anda belikan apa? Hal-hal yang menghasilkan lebih banyak uang bagi anda atau hal-hal yang menghabiskan uang. Silahkan dijawab, Anda yang tahu termasuk golongan manakan Anda?


Read More........

"Bikin Website"

Bikin Website itu Mudah … Percaya deh
Membuat Homepage itu Gampang

Membuat homepage itu gampang. Percayalah, dengan perangkat lunak yang ada sekarang ni seperti Microsoft Frontpage, Adobe Go Live, Page Mill dan software terbaru lainnya yang mudah digunakan dan juga dilengkapi dengan template instant, membuat homepage atau web site bukan hal yang sulit.

Bahkan, software pengolah kata semacam Microsoft Word versi yang terbaru sekarang ini dilengkapi dengan template instant untuk membuat homepage. Meskipun demikian, untuk membuat homepage yang menarik serta atraktif, dan tentunya mudah di download, diperlukan pengalaman plus darah seni ditubuh kamu agar dapat menghasilkan homepage yang benar-benar menarik pengunjung. Apa saja sih, kiat-kiat yang paling mendasar dalam membuat homepage itu? Nggak susah-susah amat kok, asal kamu memperhatikan hal-hal berikut ini.

Isi adalah raja

Ini bukan omong kosong. Banyak sekali homepage diproduksi di Internet setiap hari. Tanpa isi yang mengena dan pas dengan tujuan kamu membuat homepage, maka homepage kamu itu cuma sekedar memenuhi Internet dengan informasi tak berguna alias informasi sampah. Bagaimana supaya isi homepage dapat memberikan nilai tambah kepada pengunjung? Pikirkan saja apa tujuan kamu membuat homepage. Apakah kamu seorang fans berat Madonna misalnya. Pikirkan dan rencanakan, apa kira-kira informasi yang nantinya menarik penggemar Madonna itu. Apakah informasi itu berupa lirik lagu-lagu Madonna, foto-fotonya yang sensual, kliping-kliping artikel mengenai dirinya, milis, forum diskusi, atau beberapa informasi lain yang relevan dengan tujuan kamu membuat homepage Madonna itu.

Selain itu, jangan lupa lho aturlah informasi menurut menu yang berurutan dan cair sehingga pengunjung homepage dapat berselancar dengan mulus dari satu halaman ke halaman yang lain.

K I S

“Keep It Simple”, ini artinya kamu nggak perlu napsu untuk menempelkan segala macam gambar atau foto yang ‘WAH’, di homepage yang lagi kamu bikin itu. Atau hindari menggunakan layout yang rumit-rumit dengan menggunakan banyak tabel atau frame. Apalagi jika kamu seorang pemula. Gunakan gambar, foto atau tabel sesuai dengan kebutuhan. Jangan terpesona dengan gambar animasi yang minta ampun besar ukurannya.

Bila kamu menggunakan teknologi paling gress misalnya “Shockwave” atau “Java”. Sebagai patokan, untuk setiap halaman sebenarnya ukuran total file gambar yang ideal paling banter cuma mencapai 25 KB. Ditambah dengan file html sendiri yang sekitar 25 KB juga maka total maksimum sebuah file html (plus gambar) paling banyak adalah 50 KB. Nah, ingat-ingatlah batasan ini.

Grafis dan Penampilan

Selain kedua hal mendasar diatas, penampilan juga jangan sampai dilupakan. Penampilan disini termasuk grafis yang digunakan , icon atau navigasi. Perhatikan pula format teks maupun font [jenis huruf] yang digunakan. Dan jangan lupa, kuras imajinasimu saat kamu menyisipkan warna, logo atau tampilan grafis lainnya, yang menunjukkan identitas dan kepribadian homepagemu.

Selain itu, perhatikanlah warna-warna homepage kamu, terutama warna latar belakang dengan warna font. Jangan sampai warna latar belakang justru membanting warna font. Usahakan warna font atau ukuran font sangat kontras dengan warna latar belakang halaman homepage . Ini sangat penting bagi pengunjung yang nantinya akan membaca informasi yang kamu sampaikan. Selain itu, untuk warna font sebaiknya digunakan warna-warna tua/kuat supaya pengunjung situs mudah mencetak halaman homepage. Menurut beberapa survei yang dilakukan di Internet, sebagian besar pengunjung masih tetap
menyukai warna latar belakang putih ketimbang warna-warna latar belakang lainnya.

Prestasi dan Promosi

Setelah homepage kamu jadi, gimana caranya menjajal performance homepage kamu, dan bagaimana caranya agar homepagemu itu dapat dikenal oleh orang? Untuk menjajal performance homepage , kamu bisa kunjungi websitegarage.com di http://www.websitegarage.com . Di situs ini, berbagai aspek desain homepage akan diuji, misalnya download time, besar/ukuran grafis, efisiensi html code, spelling, dll. Setelah itu jangan ragu untuk mengunjungi situs pencarian paling populer seperti Yahoo http://www.yahoo.com atau situs Catcha.co.id http://www.catcha.co.id untuk mempromosikan situs kamu di Internet. Untuk lebih jelasnya, silahkan kamu masuk ke Ruang Webmaster. Disana kami sudah siapkan segala yang kamu butuhkan.

Masih Sulit Juga ….! Bikin Blog saja

Keterlaluan deh, ya sudah bikin Blog saja karena saat ini sudah banyak mesin pembuat blog banyak sekali baik yang gratisan maupun yang berbayar, kamu bisa sign up di wordpress, blogspoot, bloger, joomla dan masih banyak lagi. Untuk daftar kamu tak akan mengalami kesulitan karena sudah ada step-stepnya dengan jelas, setelah blog standard sudah jadi sekarang tinggal mempercantik halaman blog kita, tak perlu pergi ke salon kita sendiri juga bisa mempercantik tampilannya banyak plugin, widgets, modul, komponen yang gratis bertebaran di internet, kamu tinggal ketikan kata kuncinya di mesin pencari google lalu abrakadabra banyak pilihan yang menawarkan agar tampilan blogmu jadi menarik, pasti kamu juga di buat bingung untuk memilihnya, malah salah-salah bingung sendiri akhirnya tidak ada pilihan dan blog kamu juga tak menjadi cantik.

Read More........

"Bahasa Sunda di Kabupaten Brebes"

Kabupaten Brebes merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan dengan wilayah Jawa Barat. Di wilayah itu, terutama di wilayah Brebes sebelah selatan, terjadi persinggungan dua bahasa terbesar di Indonesia, yaitu persinggungan antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Namun, setakat ini penelitian yang mengungkapkan keberadaan bahasa Jawa maupun keberadaan di bahasa Sunda di daerah tersebut belum ada.

Akibatnya, informasi tentang kedua bahasa di daerah itu sangat minim. Ranabrata (1992:26) pernah mengungkapkan bahwa bahasa Sunda juga dipakai di wilayah selatan Kabupaten Brebes. Namun di daerah mana bahasa Sunda itu dipaka dan bagaimana deskripsi bahasa di daerah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan awal ini bertujuan mendeskripsikan bahasa Sunda di beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes.

Wilayah Bahasa

Kabupaten Brebes terdiri atas enam belas kecamatan, yaitu kecamatan;
• Salem
• Bantar kawung
• Bumiayau
• Paguyangan
• Sirampog
• Tonjong
• Larangan
• Ketanggungan
• Banjarharjo
• Losari
• Tanjung
• Kersana
• Bulakamba
• Wanasari
• Jatibarang
• Brebes

Delapan diantaranya terdapat penutur bahasa sunda. Yaitu;
• Salem,
• Bantarkawung,
• Ketanggungan,
• Banjarharjo,
• dan beberapa desa di Kec. Losari (Randegan, Jatisawit, Karangsambung, Negla, Bojongsari, Karangjunti, Babakan)
• Kec. Tanjung (Sarireja dan luwungbata)
• Larangan (Kamal, wlahar, dan pemulian)
• Kersana(Kradenan, Sindangjaya)

Bahasa sunda dan bahasa Jawa dipakai secara bersama dibeberapa desa di kecamatan;
• Bumiayu(Pruwatan, Laren)
• Bantarkawung(cinanas, cibentang, karangpari, pangebatan, dan bantarkawung)
• Ketanggungan(Pamedaran, Barros, Kubangsari, Ku bangjati, Dukuhbadag, dan kubangwungu)
• Banjarharjo(Banjarharjo, cimunding, ciawi, tegalreja, dan banjar lor
• Losari(Karangjunti dan Babakan)
• Kersana (Kubangpari)

Fungsi

Penutur bahasa Sunda di Kabupaten Brebes selalu menggunakan BS sebagai alat komunikasi sehari-hari, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat setempat. Di dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual beli di pasar, ceramah agama di mesjid, dan upacara adat (pernikaha, khitanan, syukuran, sedekah bumi), BS selalu digunakan sebagai pengantarnya. Meskipun begitu, BS di Kabupaten Brebes hanya digunakan dalam ragam lisan, bukan dalam ragam tulis dan sampai sat ini bahasa tersebut masih diperlihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya.

Kebiasaan yang menarik yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kecamatan Losari, Banjarharjo, dan beberapa kecamatan di daerah Brebes selata adalah adanya kecenderungan masyarakat dalam melakukan hampir seluruh aktivitasnya 9bersekolah, berobat, berbelanja, atau keperluan lain) selalu ke arah barat (ke Ciledug-Kab. Cirebon)daripada ke arah utara (ke kota kabupaten). Selain karena kesulita transportasi barangkali juga disebabkan oleh adanya rasa sebahasa yang membawa dampak psikologis bagi pemakainya.

Bahasa Sunda Brebes (BSB)

Perbedaan bahasa sunda brebes dengan bahasa sunda standar (BSS)tampak menonjol pada intonasi dan beberapa kosakata, sedangkan dalam tataran frasa dan kalimat tidak terjadi perbedaan. Dalam tatara frasa , misalnya adalah
imah bapa=rumah ayah
peti suluh=peti kayu
budak bandel=anak nakal
hayang hees=ingin tidur
ngakan kejo=makan nasi
gede kacida=besar sekali
jenuk budak=bnyak anak.
Kalimat BSB contohnya adalah;
Misah lulus ujian nyaneh kudu di ajar=agar lulus ujian kamu harus belajar
Iraha nyaneh mangkat=kapan kamu pergi
Naha nyaneh telat=mengpa ia terlambat?
Mih, balik ti pasar=ibu pulang dari pasar
Kakak geus indit=kakak sudah pergi

Yang menarik adalah sebagain kosakata BSS yang termasuk kosakata netral (tidak kasar dan juga tidak halus) di dalam BSB selalu diaggap lebih halus. Misalnya, frasa;
Hayang sare=ingin tidur
dahar sangu=makan nasi
Di dalam BSB dianggap halus, padahal di dalam BSS kedua frasa itu tidak bermakna halus. Frasa ygn bermakna ingin tidur dan makan nasi di dalam BSB adalah hayang hees dan ngakan kejo

Kosakata dasar Swadesh

Jika penjaringan data BSB dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang dibuat oleh Pusat Bahasa, kurang lebih akan diperoleh seratus tujuh puluh kosakata yang berbeda antara BSB dan BSS (Bahasa Sunda Standar). Namun, apabila penjaringan itu dilakukan dengan menggunakan kosakata dasar swadesh (dua ratus kosa kata dasar) akan diperoleh empat puluh kosa kata dasar yang berbeda antara BSB dan BSS. Keempatpulih kosakata yang berbeda itu dapat dilihat pada tabel 1.

Jika diamati lebih lanjut, ternyata keempat puluh kosakat BSB yang berbeda dengan BSS itu, sembilan kosakata dasar diantaranya diduga terpengaruh bahasa Jawa brebes (BJB). Kesembilan kosakat itu bisa dilihat pada tabel 2.

Penutup

Sehubungan dengan hal diatas, agar keberadaan bahasa Sunda–dan juga bahasa Jawa–di Kabupaten Brebes dapat diungkapkan secara memadai, penelitian tentang keseluruhan aspek kebahasaan (fotologi, morfologi, dan sintaksis) dan penelitian tentang dialek geografi bahasa Sunda di daerah itu perlu segera dilakukan.

Tebel perbandingan Bahasa Sunda Brebes dan Bahasa Sunda Standar

BSB BSS MAKNA
pocor ucur/ngucur alir/mengalir
api seuneu api
hiber ngambang apung/mengapung
apik alus baik
jenuk loba banyak
rengkol/ngarengkol goler/ngagoler baring/berbaring
kakara anyar baru
mungkal batu batu
saumpamana iraha bilamana
bububrauh moro buru/berburu
seuseuh kumbah cuci
dindi di mana di mana
surung dorong dorong
nyaneh maneh engkau/kamu
leuweung hutan hutan
mimih/indung/babu ema ibu
rubtah pamajikan istri
sapertina sabah karena
ngocoblok omong/ngomong kata/berkata
gulung gelut berkelahi
hulu sirah kepala
kede kencah kiri
sejen lain lain
sagara laut laut
lega lebar lebar
lesang leueur licin
madang dahar makan
endi mana mana
mata panon mata
matapoe panonpoe matahari
nembang nyanyi menyanyi
jama jelema/jalma orang
peres peureut peras
kami/aing kuring saya
rupit heurin sempit
hawangan walungan sungai
hees/pineuh sare tidur
jegu mintul tumpul
ula oray ular

Tebel perbandingan Bahasa Sunda Brebes, Bahasa Jawa Brebes, dan Bahasa
Sunda Standar

BSS BSB Bahasa Jawa Brebes Makna
alus apik apik baik
dorong surung surung dorong
lain sejen sejen lain
laut sagara segara laut
lebar lega lega lebar
dahar madang madhang makan
mana endi endi mana
nyanyi nembang nembang menyani
oray ula ula ular
Read More........

Senin, 25 Mei 2009

"Panggil Aku Karto Saja"

Pesan singkat tadi pagi membuat Karto harus sedikit bekerja keras hari ini. Di samping mengerjakan rutinitas kantor, Karto kudu riset, mencari nama-nama bayi dari Timur Tengah, persisnya dari Persia.

Kus, kakak Karto, sehabis Subuh tadi pagi mengabarkan istrinya melahirkan anak kedua. Bayi laki-laki lumayan gembil, berat badan 3,4 kilogram. Kulit sawo matang, mata rada belo. Hidung lumayan bangir.

“Tolong carikan nama-nama yang bagus, To,” pesan singkat dari Kus mampir ke handphone Karto.

“Mau nama-nama bayi mana? Timur Tengah mau?” balas Karto. “Boleh,” timpal Kus.

Orang jaman sekarang saling menghias nama, yang indah-indah, bisa mewakili wibawanya, melebur dalam kesamaan. Tak mewakili kelas dan strata sosial seperti Jawa. Di jamanku, kata Karto, nama adalah kelas. Dengan memperhatikan nama, orang sudah bisa menebak dari kasta mana dia berasal.

Karto? Hmmmm. Nama Karto adalah produk feodalisme di Jawa. Lima huruf. Hanya lima huruf saja. Juga satu kata. Tak ada nama belakang. Atau nama marga.

Dari namanya saja, mudah ditebak. Dia berasal dari kasta rendah suku Jawa. Golongan abangan. Bukan dari golongan santri. Apalagi golongan priyayi Jawa. Sebab, jika masuk golongan santri, maka namanya akan sangat kental dengan bau-bau Islam. Muhammad Zikrullah, misalnya. Atau Ahmad Hamid Abdullah, umpamanya. Atau juga Abdul Syukur, atau Abdur Rohman, atau Abdul-Abdul yang lain.

Bukan pula dari golongan orang-orang ningrat atawa priyayi Jawa yang suka membanggakan namanya. Birokrat Jawa, suka memilih nama-nama keraton yang indah-indah sebagai hiasan. Juga untuk memberi kesan bisa mempengaruhi diri sendiri dan orang lain dengan wibawa dan keindahannya itu. Dengan demikian, akan bertambah juga wibawanya.

Juru tulis sebuah kantor karesidenan, ujar Pramoedya Ananta Toer, akan menamakan dirinya dengan kata Sastra. Bisa Sastra Diwirya, yang berarti juru tulis yang tegas. Atau Sastra Disastra, yang berarti kepala juru tulis dari juru tulis.

Priyayi pengairan suka memberi namanya dengan awalan Tirta. Maka Tirtanata akan berarti pejabat yang mengatur perairan. Atau Raden Ajeng, yang dengan namanya orang sudah bisa menebak bahwa dia adalah keturunan keraton Jawa. Berdarah biru.

“What is the name? Apalah arti sebuah nama?,” kata Karto, kepadaku suatu senja. Barangkali dia mengutip pernyataan terkenal dari pujangga Eropa itu: William Shakespeare. Karto memang kadang sok puitis. Sok meniru ucapan pujangga-pujangga besar. Tapi begitulah dia.

Pada senja kala di batas kota tua itu, kami terlibat obrolan ringan. Entah mengapa, menjelang gelap itu kami mengupas lepas soal nama. Entah apa mula kata kami bicara. Tiba-tiba nyangkrok ke soal nama. Karto punya alasan soal namanya yang pendek itu.

“Si mbok-ku yang memberi nama memang tak pernah tahu aku jadi seperti sekarang, seorang juru warta. Dulu, ketika aku lahir, si mbok tahunya aku bakal menjadi seperti orang-orang sedaerahku. Jadi petani, atau pedagang, atau merantau ke Jakarta berdagang asongan rokok, menjadi kuli macul, kemudian menikah, punya anak, jadi kakek-kakek, selanjutnya meninggal di usia tua,” Karto terhenti sejenak. Tangan kanannya mencabut sehelai rumput yang sedikit tertiup angin senja kota tua. Menarik nafas sebentar.

Karto melanjutkan. “Seperti tak ada harapan bahwa anaknya bisa mempunyai nasib berbeda dengan orang-orang sebangsanya di kampung, bangsa kaum buruh, bangsa kaum abangan. Si mbok-ku hanya bisa pasrah, tak berani menentang nasib. Seperti tak ada harapan bahwa jaman sekarang sudah berubah. Bahwa sekarang orang kecil juga bisa sederajat dengan orang-orang besar,” papar Karto, getir. “Melalui pendidikan,” tandasnya.

Aku sedikit terpaku mendengar penegasan di pengujung pemaparannya. “Seperti tak ada harapan bahwa anaknya bisa mempunyai nasib berbeda dengan orang-orang sebangsanya di kampung, bangsa kaum buruh, bangsa kaum abangan. Si mbok-ku hanya bisa pasrah, tak berani menentang nasib. Seperti tak ada harapan bahwa jaman sekarang sudah berubah. Bahwa orang kecil juga sekarang bisa sederajat dengan orang-orang besar, melalui pendidikan.”

Barangkali Karto kini sudah merasa bernasib lebih baik ketimbang teman-teman sebayanya, yang kini hanya mengasong di pinggir-pinggir jalan dan lampu merah Grogol, Jakarta Barat, pikirku. Mungkin juga Karto, yang kini memasuki separuh baya, sudah punya pikiran bahwa dia bernasib lebih bagus ketimbang teman-teman seusianya yang hanya menjadi kuli dan buruh bangunan, di salah satu sudut Jakarta. Yang mereka hanya menamatkan sekolah hingga Sekolah Dasar (SD). Atau mentok di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Memang dasarnya apa sampai ketemu nama Karto?,” tanyaku, memberanikan diri, sore menjelang gelap itu. Karto agaknya sedikit tersinggung. Matanya sedikit memerah. Dia memang agak sensitif, dan kadang pemarah. Sisi lain tabiat Karto yang suka menyendiri.

“Buat apa kau tanya-tanya soal itu, mending kita bicara soal mereka-mereka yang selalu merasa terpanggil oleh iman, kemudian membantai kaum lainnya demi Sang Maha Penguasa. Menjadi laskar pembela kebenaran. Itu lebih menarik,” Karto berusaha mengalihkan pembicaraan.

Aku sedikit merengut. Dan Karto tahu, jika sudah berubah roman mukaku sedikit saja, itu tandanya aku minta pembicaraan semula diteruskan. Kami sudah sedemikian dekat, sehingga tahu hal remeh temeh sekalipun.

“Baiklah, kawan. Tahukah kau, dulu ketika si mbokku memberi nama, yang dia tahu hanya berpatokan pada perhitungan Jawa. Karena aku lahir pada hari Jumat, maka namaku harus diawali dengan huruf pertama namaku itu. Juga, lantaran aku lahir pada hari Jumat Legi, maka si mbok-ku percaya namaku harus berjumlah lima huruf, yang melambangkan Legi dalam perhitungan Jawa itu. Jika si mbok-ku tak mematuhi perhitungan Jawa itu, bisa celakalah aku di kemudian hari. Begitulah saat itu si mbok-ku dan para tetua kampungku percaya. Maka jadilah namaku Karto. Lahir Jumat Legi,” tutur Karto, sedikit bersungut.

“Jika saja si-mbokku berpendidikan, maka bisa jadi dia akan sedikit melek, melihat dunia. Bahwa era 1970-an dan era 1980-an Indonesia sudahlah membangun, pendidikan juga mulai maju. Siapapun berhak mengenyam, tak seperti jaman penjajahan dulu, penghuni lembaga pendidikan adalah makhluk dari langit, berdarah biru, manusia terpilih. Termasuk para priyayi Jawa itu.”

“Dan, si mbokku jika berpendidikan akan bisa melihat dunia, bahwa dunia sudah berubah sejak puluhan tahun lampau. Hmmm, tapi dia tetap ada dalam gelap gulita. Maka, jadilah aku seperti tetap di jaman feodal Jawa. Si mbokku sungkan memberi nama yang bagus-bagus, risih katanya, jika memberi nama bagus pada anak dari keturunan rakyat jelata. Malah bisa jadi ditertawakan orang sekampung,” Karto, panjang lebar.

“Betul memang satu dasa warsa setelah aku lahir, nama bayi di daerahku di tubir Cisanggarung sana sudah mulai berubah, mengikuti pola modernisasi. Mulai ada kesamaan strata kelas. Maka, seorang buruh tani pun bisa memberi nama yang sederajat dengan yang berpendidikan. Seperti misalnya Rahmat Darmawan. Itu aku tahu, pada jamanku dia pasti akan bernama Wawan saja.”

“Tak apa, jaman memang bergerak. Memasuki decade 1990-an, orang-orang sekampungku sudah mulai merantau ke Jakarta, meski hanya sekadar berdagang asongan, atau hanya sekadar menjadi kuli bangunan. Tapi dari sana membawa budaya modern, meski norak. Satu pengaruhnya, nama bayi menjadi ke kota-kotaan. Pengaruh feudal seperti di jamanku mulai pudar,” papar Karto.

“Nah, kau kan sekarang sudah bisa sederajat dan punya kesempatan banyak untuk sejajar dengan para keturunan ningrat itu, kenapa namanya tidak ditambah mengikuti mereka dan arus modern? Bukankah kau sudah berhak? Bukankah itu juga bisa meningkatkan gengsimu,” kataku, lagi.
Kali ini Karto sedikit membelalakan matanya. Aku sedikit ciut. “Tahu kau, kawan. Kau adalah orang yang kesekian yang selalu mengusik-ngusik namaku,” Karto terdiam sebentar. Kemudian menarik nafas panjang. Ada nada dendam dalam ucapannya.

“Tak mengikuti arus pasar, berarti ikut menolak ideologi pasar itu sendiri. Bukan begitu, kawan,” katanya. Matanya sedikit memelototi aku. Aku rada terkesiap. Barangkali dia sudah benar-benar tersinggung.

Tapi jujur aku tak terlalu mengerti apa arti perkataannya. “Maksudnya bagaimana Karto,” kataku.

“Kawan, aku tahu. Sekarang ini, jaman modern, jaman ideologi pasar. Agar bisa bertahan hidup di tengah persaingan pasar yang sangat sengit, orang harus punya kemampuan dan skill tinggi. Juga harus punya gengsi tinggi. Dia harus profesional. Karena dengan demikian, dari hasil profesionalitasnya itu, dia akan menghasilkan karya yang bisa dijual.

Orang harus mengikuti keinginan pasar agar tetap diminati pasar itu sendiri,” katanya. Karto sudah mulai ngelantur, pikirku. Tapi kudengarkan juga lanjutan omongannya.

“Kini sudahlah lazim, perusahaan-perusahaan besar menggunakan tenaga-tenaga ahli dari luar negeri. Bukan karena kemampuannya, tapi karena gengsinya. Kalaupun dia menggunakan tenaga lokal, maka sebisa mungkin yang berasal dari lulusan luar negeri. Setidaknya tahu seluk beluk luar negeri. Karena kini dunia sudah jadi kampung global,” katanya.

“Maka agar terkesan sangat tahu seluk beluk luar negeri, manusia jaman kiwari akan menggunakan nama kebarat-baratan. Sekali lagi agar terkesan modern. Tak terkecuali dalam memberikan penamaan. Maka orang lokal sekarang lebih suka menggunakan nama Michael dan Sebastian ketimbang Sunarto atau Ahmad. Dua nama terakhir itu akan terkesan sangat terbelakang dan tak berperadaban. Maka, dengan demikian perusahaan-perusahaan besar akan merekrut orang dengan nama-nama yang bagus-bagus. Sekali lagi itu demi gengsi. Yang buruk dan sangat lokal, mohon maaf, menyingkir dulu,” paparan Karto terhenti sejenak.

“Mungkin itu cuma pikiranmu saja, Karto,” aku menyela.

“Tidak, kau harus membuka mata. Orang jaman sekarang akan heran jika namamu hanya satu kata saja, seperti aku. Tanpa nama belakang, juga tanpa marga. Sebagian orang akan menganggap dengan satu nama saja, kau sangat kelihatan udik, sangat lokal. Dan kau harus merasakan, pertanyaan soal kenapa namamu hanya satu kata saja tanpa nama belakang, akan menjadi tudingan bahwa kau berasal dari kasta rendah, kasta abangan, bukan santri dan juga bukan priyayi. Tahu, kau,” Karto makin galak. Nyaliku menciut. Aku diam. Dia sudah benar-benar tersinggung. Malam sudah larut. Di pinggir kota tua itu, suara belalang tersengal-sengal. Hembusan angin makin menusuk-nusuk.

****
******

“Kak, gimana kalau nama Akmal, dari bahasa Timur Tengah, artinya sempurna, sangat pandai,” Karto kembali mengirim SMS ke Kus, setelah sedikit utak-atik computer. Sejenak kemudian, balasan muncul. “Lumayan bagus, coba cari yang lainnya,” Kus membalas.

Karto kembali mengorek-ngorek deretan nama-nama bayi di tumpukan tulisan mbah google. “Gimana kalau digabung menjadi Akmal Tristan Nadian, Akmal artinya sempurna, sangat pandai, Tristan dari bahasa Wales, Inggris Utara, artinya gagah berani, dan Nadian adalah singkatan dari nama kakak dan istri,” Karto kembali membalas, sejam kemudian.

Sejenak tak ada jawaban. Karto mencoba menawarkan nama lain. “Gimana kalau Farrel Yanuardi Tristan Nadian, Farrel artinya heroik dari bahasa Irlandia, Yanuardi artinya lahir pada Januari, Tristan Nadian seperti arti dalam SMS sebelumnya. Naman ini juga bisa mengantisipasi era globalisasi di masa datang,” pesan singkat Karto kemudia meluncur.

Huppp…Mengantisipias era globalisasi? Apa hubungan nama dnegan era globalisasi? Aku tak mengerti sekarang jalan pikiran Karto. Dia sudah mulai tak kupahami jalan fikirannya. Atau aku yang terlalu naïf, pendek daya jangkau fikirnya. Entahlah.

“Nanti saya pilih,” jawaban pesan singkat Kus mampir, pendek.

Dua hari berselang, Kus tak jua membalas SMS Karto. Sampai menjelang tengah malam, SMS Kus mampir ke Karto. “Mungkin namanya Akmal Grammarian Abdillah,” katanya. Karto yang masih terjaga mencoba membalas,” Itu sudah bagus, Anak pandai nan sempurna, semoga menjadi Hamba Allah yang pandai berbahasa Inggris dnegan grammar yang baik,” katanya. “Mentang-mentang jadi guru Bahasa Inggris,” kata Karto kepadaku esoknya.

“Jadi, apa namanu mau diubah juga Karto?” tanyaku kembali, mengingat percakapan sore menjelang malam waktu itu. Karto kembali membelalakan mata. “Biarlah, aku akan tetap memakai nama ini, meski terkesan ndeso, udik, kelas rendah di Jawa, tak apa. Biar aku selalu mengingat dari mana aku berasal. Bukan kacang yang lupa akan kulitnya. Panggil aku Karto saja,” ujar Karto. Aku terdiam.


* Terinspirasi dari judul “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer

by: Danto ()rg. Cikakak)
Read More........

"Wartawan"

Dahwa. Dia terbilang teman karib saya dari SMP hingga SMU, daerah yang terbentang di tengah-tengah kaki Gunung Ciremai dan Gunung Slamet. Usia kami tak terpaut jauh. Kalaupun ada perbedaan, dulu semasa SMU, dia bertubuh agak gempal, otot agak berisi, dan sorot mata rada tajam. Semasa SMU, hampir 15 tahun lalu, tubuh saya kecil, tak berotot, dan mata agak cekung: sayu. Tak seperti sekarang.

Sudah lebih dari satu dasa warsa kami tak bertemu. Hanya sedikit kabar setahun lalu, dia sudah menikah dengan teman satu SMP, teman saya juga. Katanya dia telah punya anak laki-laki, sekira umur dua tahunan. Tubuh bayinya rada bongsor, bermata bulat, dan berhidung bangir, katanya.

Meski satu sekolah, kami beda kampung, tepatnya bertetangga kampung. Desa dia tepat di tubir Cisanggarung, sungai yang membentang panjang membelah tanah Pasundan dan bekas kekuasan Majapahit, dari selatan Jawa menuju pantai utara Jawa atawa pantura. Ayahnya adalah tenaga pengairan di Cisanggarung. Maka, dia pun kerap mengikuti jejak sang bapak, tiap hari melaju di dua provinsi: Jawa Barat dan Jawa Tengah. He..he..he.. Betul. Itu karena untuk ke Jawa Barat hanya butuh sepelemparan batu sahaja. Alias…dia hidup di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Saya mungkin tak akan ingat lagi bagaimana aktivitas dia selepas SMU dulu, jika saja tak ada kabar dadakan tadi pagi. Kebetulan, karena tekad saya yang –maap—rada ndableg, saya bisa lulus Sarjana. Padahal, secara ekonomi kelihatannya dia lebih mapan ketimbang saya. Saya, saat SMU dulu, terpaksa nyambi harus jadi kuli di sawah tetangga untuk sekadar dapat uang jajan, syukur-sykur bisa nambah buat bayar SPP.

Dia? Dia tak melanjutkan kuliah, dan katanya hanya berkarir mengikuti jejak sang bapak menjadi tenaga pengairan di Cisanggarung. Kemudian beristri dan beranak pinak di desanya.
Subuh pagi tadi, ingatan saya kembali menerobos bersamanya. Selepas sholat Subuh, telepon saya menjerit-jerit. Duh, pengeng-nya pagi-pagi buta suara dering telepon berkoar-koar. Biasanya, selepas Subuh itu saya bergelung sarung lagi. Tapi tidak, pagi tadi itu. Jeritan telepon itu mengusir rasa kantuk.

Hampir saja tak saya angkat telepon kutu kupret itu. Nomor telepon pemanggil tak dikenal. Gengsi saya sepertinya makin ke sini kian meninggi saja. Malas nian menjawab telepon dari orang yang tidak dikenal. Mungkin sudah mulai merasa jadi orang rada penting. Dasar!! Rada ngedumel, saya angkat juga menjawab panggilan telepon.

“Halo,” kata saya.

“Hai, kawan, ini Dahwa, masih ingat?” kata suara di seberang telepon.

“Oh…ya, ya,..apa kabar,” sapa saya.

“Baik..baik..makin sukses wae saya denger, kumaha kerjaan? Hebat sekarang mah udah jadi wartawan euy…”

Ach, rasanya tak perlu saya bertele-tele membeberkan basa-basinya tanya kabar dengan logat Sunda pinggiran yang sesekali terceletuk itu. Rasanya juga tak bernafsu mengulas saling sapa yang rada kurang berbobot itu. Masih pagi pula. Rada terkantuk-kantuk pula. Mata ini masih rada lengket. Yang saya perlu kasih tahu, dia bilang tahu nomor hape saya dari seorang teman satu SMU yang beberapa waktu berjumpa. Maka, sebaiknya kusarikan saja apa-apa yang dia ceritakan. Tentu saja, dengan sedikit variasi dan versi bahasa saya.

****

Sudah enam bulan ini saya menjadi pemimpin proyek di tubir desa Cisanggarung. He..he..he..Jangan kau ledek. Proyek orang kota dengan wong ndeso sangat jauh beda, tentu saja. Pak Kepala Desa menunjuk saya sebagai ketua pembangunan balai desa. Ini bagian dari proyek bantuan pemerintah. Nilainya cukup besar untuk ukuran kampung bau lisung seperti desa saya: Rp 250 juta.

Bagi lulusan SMU yang tak punya pekerjaan tetap, kecuali menjadi tenaga pengarian Cisanggarung, seperti saya, proyek ini sangat membantu ekonomi keluarga. Lumayan. Proyek ini juga bisa menjadi semacam proyek padat karya bagi kawan sedesa saya. Kata Pak Kades, biar orang-orang getol membangun desanya sendiri. Tinimbang merantau ke Jakarta, berdagang asongan, kerja kuli di proyek-proyek gedung pencakar langit di ibu kota. “Lebih baik bekerja memajukan kampung halaman sendiri,” kata Pak Kades, menjelang pembangunan balai desa enam bulan lalu itu.

Maka, kini pembangunan balai desa sudah separuh jalan. Sudah berdiri pondasi dan tiang-tiang. Rencananya, balai desa akan berdiri dengan dua lantai. Mewah, tentu saja untuk ukuran desa. Targetnya selesai akhir 2009.

Tapi, sudah seminggu ini pembangunan balai desa tersendat. Tahukah kau apa penyebabnya? Warga desa kami sekarang sedang resah. Sebab, ada beberapa artikel di media Koran lokal di daerah kami yang menulis: pembangunan balai desa kami kekurangan dana. “Duit yang seharusnya berlebih itu tiba-tiba raib,” tulisan sebuah Koran diantaranya. “Proyek ini sarat korupsi,” timpal sebuah tulisan lagi.

Saya baru tahu media tersebut. Sebulan lalu, seorang yang megaku wartawan dari salah satu media tersebut, mengantarkan beberapa tulisan itu ke balai desa. Saya baca isi beritanya. Saya tilik-teliti satu per satu halaman koran berkertas buram itu. Saya ambil salah satunya.

Namanya saja asing: Harian Kebangsaan. Tebalnya 20 halaman. Tulisan cetaknya buram, ada beberapa bagian tulisan yang berbayang. Tak jelas. Isinya dibagi per lima halaman. Dari halaman satu sampai lima berita nasional, halaman enam sampai 10 berita daerah dan lokal, termasuk even-even di kampung-kampung, halaman 11 sampai 15 berita gado-gado, mulai dari berita luar negeri, berita olahraga, dan lima halaman terakhir berisi guyonan dan infotainment.

Berita tentang proyek desa saya itu terletak di halaman 9. Isinya, ya, itu tadi. Membuat sesak dada ini. Ini fitnah. Tapi rasanya diri ini jadi tak berdaya.

Maka, gegerlah seisi desa. Inilah pangkal soal itu. Saya dan orang-orang kampung kaget bukan kepalang. Dari mana si wartawan media tersebut tahu bahwa proyek ini mangkrak. Proyek ini tak jalan, atau proyek ini kekurangan dana, atawa terjadi kebocoran dana hingga ada dugaan korupsi?

Sudah seminggu ini proyek memang tak jalan. Tapi bukan karena kekurangan dana. Tapi karena terpicu tulisan itu. Warga desa kami tiarap. Menunggu ada tulisan yang membuat syok apalagi yang bakal muncul. Semua warga harap-harap cemas. Warga tak mengerti, dari mana wartawan media itu mendapat sumber berita seperti itu. Kami, warga desa di tubir Cisanggarung, setidaknya saya sebagai ketua proyek, tak pernah merasa ada satu wartawanpun yang mewawancarai. Tapi tiba-tiba muncul tulisan yang benar-benar meresahkan itu.

Kami tak berani melawan, karena memang tak tahu hukum sama sekali. Tak ada ahli hukum di desa kami. Yang kami tahu, semua orang di desa dan daerah lain jadi tahu bahwa proyek balai desa di tempat kami rawan korupsi. Dan itu seperti menuding ke saya, sebagai kepala proyek.

Saya juga kini lebih banyak diam di rumah, seperti sudah divonis bahwa saya ini adalah seorang korup, yang memakan uang bantuan pemerintah untuk kepentingan pribadi. Padahal, untuk urusan duit seperti ini, saya masih memegang apa yang dikatakan guru ngaji saya: Tidak akan mashlahat mengambil uang yang bukan haknya. Setidaknya itu yang masih saya pegang. Tapi, apa kini semua? Diri ini seperti sudah tak berharga lagi.

Semua warga tiarap. Semua mata seperti tertuju ke saya, sekali lagi, seperti menghujamkan tudingan bahwa saya adalah seorang korup. Dan, tiga hari lalu, Pak Kades memanggil saya, juga beberapa aparat desa. Katanya ada segerombolan wartawan yang hendak wawancara dengan saya dan Pak Kepala Desa soal proyek itu. Nyali saya sebetulnya rada ciut. Entahlah, saya tak punya salah apa-apa, tapi kenapa jadi gemetar begini rupa. Inilah barangkali karakter ndeso, biasa manut, biasa saur manuk terserah pimpinan.

Saya dan beberapa aparat desa kemudian menemui tamu-tamu tak diundang itu. Inikah wajah-wajah para wartawan itu? Ada enam orang. Tiga diantaranya berambut gondrong, perut tambun, badan gempal. Dua yang lain bercaping warna merah bertuliskan Persatuan Wartawan Reformasi. Saya gelap urusan jurnalistik dan pers. Siapa mereka, juga saya tak paham. Yang saya pasti akan ingat terus, keenam-enamnya memakai rompi warna coklat. Bercelana jeans yang rada belel di bagian lututnya. Mungkin pakaian seragam mereka, pikir saya.

Mereka mengaku mau wawancara mau follow up berita sebelumnya. Berita yang menyesakkan itu, berita yang menyudutkan saya itu. Katanya, bisa tidak ditulis seperti itu lagi, asal kami bayar mereka masing-masing Rp 500.000. Semprul!! Uang segitu bagi warga desa seperti kami, terbilang besar. Itu sama saja dengan memberi masing-masing dua kwintal padi. Berat!!

Tak ada banyak basa-basi, memang. Hati ini ngedumel, terus-terusan. Jadilah pertemuan tiga hari lalu itu rada tegang. Pak Kades, saya, dan beberapa pejabat desa, menolak memberi uang sebesar itu. Mereka juga ngotot, kalau tak diberi uang akan membuat berita lebih heboh. Beberapa warga kemudian datang ke balai desa. Penduduk yang mayoritas petani, hari itu seperti libur ke ladang atau sawah.

Ternyata kabar ada sekelompok wartawan ke balai desa tersebar cepat. Semua warga desa –total warga di desa kami sekira 3.000 orang--, sepertinya sudah mendengar kabar ini. Maka, sore itu balai desa penuh sesak oleh warga desa. Semua penasaran. Makin sore, pertemuan kian panas. Dari pojok balai desa yang belum jadi itu, seorang warga berteriak, “Usir saja, biarin kita berurusan dengan hukum saja,” teriaknya. Warga lain mulai terusik. Maka, agar tak terjadi keributan, Pak Kades menyarankan segermobolan wartawan itu untuk segera pergi.

Mereka akhirnya mengalah. Pergi. Tapi tetap dengan satu ancaman: Kami akan tulis lebih dahsyat dari yang sudah ditulis,” kata seorang diantara mereka. Pak Kades, mewakili kami, mendapat dukungan warga, sore tiga hari lalu itu, mendadak bangkit semangat. “Silakan, kami tak takut,” katanya, rada menggertak balik. Mereka ngacir.

****

Hampir dua jam Dahwa ngoceh di ujung telepon. Hape saya sampai panas dibuatnya. Baterenya juga hampir habis. Dari telepon jam 04.30 WIB usai Subuh itu, cerocosannya baru kelar sekitar jam 06.20 WIB. Karena kini jaman tarif murah, maka saya tahu pulsa telepon yang tersedot untuk pembicaraan Dahwa pastilah tak seberapa. Apalagi, saat ini operator-operator telepon sedang gencar perang tarif murah. Maka, telepon pada waktu jam segitu biaya telepon hingga dua jam paling tak nyampe Rp 1.000. Murah.

Begitulah. Di ujung teleponnya, Dahwa kemudian bertutur: “Kawan, apakah memang profesi wartawan seperti itu? Membuat resah masyarakat kecil seperti kami? Padahal, ketika kita sama-sama SMU, yang saya tahu wartawan adalah profesi hebat, mau mempertaruhkan nyawa di tengah medan perang, menjadi pahlawan dan penyambung informasi untuk wong cilik seperti kami,” paparnya, rada getir.

Jujur, saya juga bingung menjawab pertanyaan Dahwa. Wartawan. Saya juga seorang wartawan.
“Kalau memang tabiat wartawan seperti itu, saya malu punya kawan lama seperti ente,” pungkasnya, seraya minta maaf. Saya terpaku!!

Jakarta, 26 September 2008
14.14 WIB

by: Danto (Org. Cikakak)
Read More........

"Kabupaten Brebes"


Kabupaten Brebes adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Luas wilayahnya 1.657,73 km², jumlah penduduknya sekitar 1.767.000 jiwa (2003). Ibukotanya adalah Brebes. Brebes merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk paling banyak di Jawa Tengah.

Satuan Kerja Perangkat Daerah
Sekretariat Daerah
Sekretariat DPRD
Badan Perencana Pembangunan Daerah
Badan Pengawas Daerah
Badan Pengelola Keuangan Daerah
Badan Kepegawaian Daerah
Dinas Pendidikan
Dinas Penanaman Modal dan Perindustrian
Dinas Perikanan dan Kelautan
Dinas Pertanian dan Kehutanan
Dinas Pariwisata
Dinas Perhubungan
Dinas Kesehatan
Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi
Kantor Pengolahan Data dan Kearsipan
Kantor Informasi dan Kehumasan
Kantor Pengelola Kekayaan Daerah
Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kantor Koperasi dan UKM

Geografi

Batas wilayah:
↑Utara: Laut Jawa
↓Selatan: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas
←Barat: Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan (Jawa Barat)
→Timur: Kabupaten Tegal, Kota Tegal

Kabupaten Brebes terletak di bagian barat Provinsi Jawa Tengah, dan berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi Jawa Barat. Kenyataan bahwa sebagian penduduk Kabupaten Brebes bertutur dalam bahasa Sunda dan banyak nama tempat yang dinamai dengan bahasa Sunda menunjukan bahwa pada masa lalu wilayah ini adalah bagian dari wilayah Sunda. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali (sekarang disebut sebagai Kali Brebes atau Kali Pemali yang melintasi pusat kota Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

Ibukota kabupaten Brebes terletak di bagian timur laut wilayah kabupaten. Kota Brebes bersebelahan dengan Kota Tegal, sehingga kedua kota ini dapat dikatakan "menyatu".

Brebes merupakan kabupaten yang cukup luas di Provinsi Jawa Tengah. Sebagian besar wilayahnya adalah dataran rendah. Bagian barat daya merupakan dataran tinggi (dengan puncaknya Gunung Pojoktiga dan Gunung Kumbang), sedangkan bagian tenggara terdapat pegunungan yang merupakan bagian dari Gunung Slamet.

Dengan iklim tropis, curah hujan rata-rata 18,94 mm per bulan. Kondisi itu menjadikan kawasan tesebut sangat potensial untuk pengembangan produk pertanian seperti tanaman padi, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan sebagainya.

Transportasi

Ibukota kabupaten Brebes terletak sekitar 177 km sebelah barat Kota Semarang, atau 330 km sebelah timur Jakarta. Kabupaten ini dilalui jalur pantura, dan menjadi pintu masuk utama Jawa Tengah di sisi barat dari arah Jakarta/Cirebon, sehingga Brebes memiliki posisi yang cukup strategis. Selain itu, juga terdapat jalan provinsi sebagai jalur alternatif menuju ke kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan seperti Purwokerto, Kebumen, dan Yogyakarta.

Ada dua jalur rel kereta api dari arah Jakarta/Cirebon, yakni jalur menuju timur (Semarang) dan jalur menuju selatan (Purwokerto). Stasiun kereta api utama adalah Stasiun Brebes, di samping stasiun lainnya seperti: Tanjung, Kersana, Ketanggungan, Larangan, Bumiayu, dll.

Pembagian Wilayah Administratif

Secara administratif Kabupaten Brebes terbagi dalam 17 kecamatan, yang terdiri atas 292 desa dan 5 kelurahan.

Dalam Pola Perwilayahan Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Brebes termasuk Wilayah Pembangunan II dengan pusat di Tegal. Kabupaten Brebes sendiri dalam perwilayahan pembangunan dibagi menjadi 3 Sub Wilayah Pembangunan (SWP) yaitu:
SWP Ia, dengan pusat di Brebes, meliputi Kecamatan Brebes, Wanasari, Jatibarang dan Songgom. Sektor yang dapat dikembangkan adalah pertanian, khususnya sub sektor perikanan, sector perdagangan/jasa dan sektor pemerintahan.
SWP Ib, dengan pusat di Tanjung, meliputi Kecamatan Tanjung, Losari dan Bulakamba. Sektor yang dapat dikembangkan adalah sector perdagangan dan pertanian.
SWP II, dengan pusat di Ketanggungan, meliputi Kecamatan Ketanggungan, Banjarharjo, Larangan dan Kersana. Sektor yang dapat dikembangkan di wilayah ini adalah sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan antara lain meliputi sayur mayur, bawang merah dan lombok serta sektor pemerintahan.
SWP III, dengan pusat di Bumiayu, meliputi Kecamatan Bumiayu, Tonjong, Sirampog, Paguyangan, Bantarkawung dan Salem. Sektor yang dikembangkan adalah sektor pertanian, industri kecil, pariwisata dan perdagangan.

Perekonomian

Bawang Merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trade mark mengingat posisinya sebagai penghasil terbesar komoditi tersebut di tataran nasional. Namun di sektor pertanian sebagai sektor dominan, Kabupaten Brebes tidak hanya menghasilkan bawang merah. Berbagai komoditi lain yang memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan bagi para investor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Kabupaten Brebes antara lain: kentang granula, cabe merah dan pisang raja.

Di luar sektor pertanian, Kabupaten Brebes juga mempunyai potensi hijauan makanan ternak yang melimpah dan tersebar hampir di setiap kecamatan. Kondisi itu menjadikan kabupaten ini berkembang berbagai usaha peternakan baik jenis ternak besar maupun kecil antara lain; ternak sapi, kerbau, domba, kelinci rex, ayam petelur, ayam potong dan itik. Telur hasil ternak itik diolah oleh masyarakat setempat menjadi produk telur asin yang popularitas atas kualitasnya sangat dikenal dan tidak diragukan. Banyak yang menyebut Brebes adalah Kota Telur Asin.

Sementara sebagai salah satu daerah yang terletak dalam wilayah pantai utara Pulau Jawa, Kabupaten Brebes mempunyai 5 wilayah kecamatan yang cocok untuk mengembangkan produksi perikanan yakni Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tanjung dan Losari. Hasil produksi perikanan yang menonjol meliputi; bandeng, udang windu, kepiting, rajungan, teri nasi dan berbagai jenis ikan laut yang lain. Hasil produk perikanan ini oleh masyarakat setempat telah dikembangkan usaha pembuatan Bandeng Presto Duri Lunak dan Terasi.

Pariwisata
Waduk Malahayu
Waduk Penjalin
Mata Air Sungai Pemali
Pantai Randusanga
Pemandian Air Panas Cipanas Bantarkawung
Pemandian Air Panas Cipanas Kedungoleng
Cagar Alam Telaga Ranjeng
Mata Air Cibentar, Bentarsari, Salem

Read More........

"Kecamatan Banjarharjo"

Banjarharja adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Indonesia. Karena sejak masa Indonesia merdeka pejabat pemerintahannya (camat dan wadana) banyak yang berasal dari suku Jawa, maka nama 'Banjarharja' lama-lama 'berubah' menjadi 'Banjarharjo', yaitu melalui proses ketika pejabat berpidato, penulisan cap kantor, dan penulisan plang instansi. Di ibukota kecamatan, yang semula semua penduduknya berbahasa Sunda, bersamaan dengan proses berdatangannya (urban) pedagang Jawa dan Tionghoa, maka kota kecamatan ini menjadi seperti 'Jawa', karena banyak yang menggunakan bahasa Jawa, yaitu di sekitar pasar Banjarharja. Penduduk Sunda-nya pun di ibukota kecamatan ini ada yang 'ikut-ikutan' berbahasa Jawa. Kecamatan Banjarharja sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Ketanggungan, selatan dengan kecamatan Salem, barat dengan provinsi Jawa Barat (kabupaten Cirebon dan Kuningan), dan utara dengan kecamatan Kersana.

Desa/kelurahan
Bandungsari
Banjar Lor
Banjarharjo
Blandongan
Ciawi
Cibendung
Cibuniwangi
Cigadung
Cihaur
Cikakak
Cikuya
Cimunding
Cipajang
Dukuhjeruk
Karangmaja
Kertasari
Kubangjero
Malahayu
Parireja
Penanggapan
Pende
Sindangheula
Sukareja
Tegalreja
Tiwulandu
Read More........

Jumat, 22 Mei 2009

"Ibu"

By : Danto

Di ujung telepon, suaranya terdengar sedikit terbata. “Ibu kehabisan uang, le,” katanya, kepada Karto menjelang malam itu, dengan isak yang tertahan. Dug. Jantung Karto seperti terasa copot. Sudah berapa lama dia tak menghubungi ibu di kampung? Satu minggu, dua minggu, atau satu bulan lebih?

Masya Allah, Karto tak menghubungi bapak dan ibu di tepian gawir Cisanggarung sana selama sebulan lebih. Apa saja gerangan yang telah dia perbuat di Jakarta? Teledor nian kau, Karto. Hingga tak sempat memikirkan mereka.

“Kamu tak usah terganggu dengan omongan ibu soal duit itu, ibu cuma ingin mendengar suaramu saja. Sungguh kangen ibu padamu, le,” katanya, sedikit tersedu. Karto terdiam. Seperti terpengaruh pada omongan pertama ibu tadi: kehabisan duit.

Saat malam baru beranjak turun itu, sengaja Karto menelepon ibu di kampung melalui telepon genggam adik bungsunya. Adik terakhirnya itu kini duduk di bangku kelas satu SMU, di kota kecamatan.

Adiknya dua. Yang pertama kini menclok jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah departemen yang lumayan punya nama dan berpengaruh, baru masuk awal 2009 ini. Setahun lalu, Karto berbaik hati membelikan adik bungsu dan ibu bapak sebuah telepon genggam seken, sekadar untuk say halo dan nanya kabar. Barang seminggu dua.

Kebetulan, setahun setelah pindah kerja ke tempat baru, Karto bisa sedikit-sedikit menabung. Sisihan tabungan, sebagian istrinya menyimpan untuk tabungan keluarga. Sedikit lainnya dia sisihkan untuk bapak ibu, zakat, dan cadangan ibu bapak mertuanya.

Sebelum adik pertamanya masih kuliah dan menjadi PNS, Karto harus membagi sisa tabungan untuk kebutuhan sang adik, juga sesekali mengirimkannya pada ibu.

Sementara uang untuk telepon genggam adik terakhirnya adalah sisihan dari sisa uang bensin selama sebulan sebulan, setelah tak lagi menanggung beban harus membiayai adik pertama. Jadilah uang tabungan itu dia belikan mereka sebuah telepon genggam seken. Pulsanya sebulan sekali dia transfer, cuma secuil saja: Rp 25.000. Karto bilang pada adik terakhir, gunakan pulsa seirit mungkin, “Kalau ada perlu sama kakak, biar kakak telepon dari Jakarta,” kata Karto, ketika menyerahkan telepon genggam seken itu, setahun silam.

*****
*****

Biar kuceritakan sedikit. Aku mengenal keluarga Karto adalah keluarga harmonis. Biar dulu mereka serba kekurangan, kini terlihat cukup sudah, untuk ukuran kampung, tentu saja. Itu penglihatan kasat mataku. Aku mengenal keluarga ini, terutama Karto, yang sejak kecil berteman dengan ku.

Banyak hikmah dan pelajaran kuambil dari kisah hidup mereka. Kisah tentang perjuangan, tentang kemiskinan, tentang ketidaktahuan, tentang kejujuran, tentang tekad baja, tentang kekompakan, juga tentang kebahagiaan.

Karto adalah anak kedua dari empat bersaudara. Bapak dan ibunya adalah buruh tani di tubir Cisanggarung, daerah yang membentang antara Gunung Ciremai di Jawa Barat, dan Gunung Slamet di Jawa Tengah. Mereka punya lahan sawah yang kalo dihitung paling cuma beberapa petak saja, mungkin mendekati satu bau – satu bau sama dengan 0,7 hektare--, barangkali tak lebih dari setengah hektare.

Itupun sawah warisan. Hanya cukup untuk makan. Sisa kebutuhan untuk hidup, bapak Karto harus menjadi kuli di sawah tetangga. Atau sesekali ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Tapi itu dulu, sekarang tidak.

Dua puluh tahun lalu, sementara bapaknya rutin ke sawah atau merantau ke Jakarta, ibunya harus ke sana kemari, ke rentenir satu dan ke tuan tanah lain. Pinjam duit. Kakak pertama Karto, Kus, ketika itu masih Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di kota kabupaten. SPG adalah tujuan sekolah paling ideal untuk keluarga tak berpunya, seperti Karto.

Itupun tak gampang. Sebab, ada saja cibiran dari para tetangga Karto. Buat apa sekolah, sementara biaya tak ada, harus ngutang sana-sini. Mimpi kali ye. Tak ada trah atau darah jadi orang gedean. Cacah kuricakan (kelas terendah masyarakat) ya tetap cacah kuricakan saja. Tak usah bermimpi jadi orang gedean.

“Pasti tak akan jadi orang,” begitu cibiran yang masih saja aku, juga Karto, dengar hingga kini, dari mereka, dari para tetangga itu. Ibunya tak peduli. Harapan besar menjadikan anak-anak bernasib lebih baik ketimbang dia.

Maka, ketika mendengar selentingan Kus mengamen di jalanan kota kabupaten untuk membayar uang kos-kosan yang mepet, suatu malam, ibu menangis sejadi-jadinya. Tak rela, rupanya. Entah itu kabar burung dari siapa. Mungkin ada tetangga yang melihat Kus memang benar suka mengamen untuk sekadar nambah uang makan, usai pulang sekolah.

Sekolah di daerah Karto adalah barang mahal. Tak sembarang orang bisa sekolah hingga SPG, ketika itu. Nyatanya, “Tuhan Maha Adil,” kata ibu Karto, ketika Kus akhirnya lulus dari SPG.

Tapi, sampai di situ pun sengsara belum juga berbuah nikmat. Pada 1991, ketika Kus tamat dari SPG itu, kebijakan baru pemerintah tak memungkinkan lulusan SPG menjadi langsung seorang guru. Semua harus melewati bangku kuliah. Apa mau dikata. Jika tak melanjutkan kuliah, maka sia-sia saja sekolah di SPG. Tak akan bisa menjadi guru. Cita-cita yang Kus, juga Karto, idam-idamkan sejak kecil.

Jika ada dua orang temannya dari tetangga kampung Karto memilih tak melanjutkan kuliah, Kus nekad. Modal tak ada, uang pun tipis, Kus merantau ke Jakarta, usai lulus dari SPG itu. Benar-benar mengadu nasib.

Modalnya cuma kenalan yang bekerja di sebuah proyek bangunan di Jakarta. Iseng-iseng ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ndilallah keterima. Dia terjaring di Jurusan Bahasa Inggris sebuah perguruan tinggi negeri yang meluluskan para guru di Jakarta.

Gembira, sekaligus bingung. Jika diambil, maka akan sangat pusing tujuh keliling dengan biaya. Dasar bondo nekad, Kus memutuskan untuk kuliah. Tak ada cerita, juga tak ada bilang ke ibu bapak. Benar-benar nekad. Sendiri.

Ada gunanya juga punya teman bekerja di proyek bangunan. Maka Kus nekad melamar menjadi tenaga kebersihan di proyek itu. Entah karena kasihan, atau memang sedang butuh, mandor proyek yang juga tetangga di kampung itu menerima Kus. Jadilah Kus bekerja menjadi tenaga kebersihan proyek. Pagi kuliah, sorenya bekerja di antara debu-debu bangunan.

Pekerjaan di proyek sedikit membantu keuangan. Cuma itu tak terlalu menutupi kebutuhan kuliah. Maka, setelah beberapa bulan kuliah, Kus memutuskan pulang kampong mengadu ke ibu: kehabisan duit. Pusing tujuh keliling nian ibu bapak Karto saat itu. Maka, ibu memutuskan pinjam ke seorang rentenir. Bunganya sangat mencekik: 50% setahun.

Apa daya. Pinjaman kemudian mengucur, esoknya, meski cuma cukup untuk bayar uang semesteran. Jumlahnya Rp 200.000. Sisa untuk kebutuhan makan, cari sendiri di proyek bangunan.

Soal bayar ke rentenir, bisa dicicil tiap bulan dari hasil panen padi atau palawija. “Ibu cuma sanggup memberi segini,” kata ibu Karto, dengan suara dalam, ketika itu. Kus menerima, sambil tertunduk, mungkin merasa bersalah sudah merepotkan, lantas kembali ke Jakarta.

Kehidupan prihatin membawa Kus punya tekad baja. Harus lulus, meski tersendat. Singkat cerita, Kus sukses lulus sarjana dari perguruan tinggi negeri itu, tujuh tahun berselang. Dia terbilang lama kuliah, karena sekali dua mengambil jatah cuti, hanya untuk sekadar mengumpulkan tambahan biaya.

Selama itu, dia beberapa kali pindah kerja di proyek, dagang sepatu, menjajakan pakaian, dan mengajar privat Bahasa Inggris. Sementara di rumah sana, bapak dan ibu Karto sudah menghabiskan sawah setengah bau, separuh dari yang ada, untuk membayar uang semesteran Kus. Juga sesekali bekal makan di Jakarta.

Itu sudah termasuk sangat ngirit. Salah satu tetangga, yang juga menguliahkan anaknya, habis dua bau, taksirannya sekitar satu setengah hektare sawah. Modal orang kampong, petani, tak punya gaji, hanya sawah jika mau menyekolahkan anak hingga ke bangku kuliah. Tak ada lain.

Selepas lulus kuliah, Kus agaknya tak tahan hidup di Jakarta. Penghasilan seorang guru di Jakarta seperti menjepit kebutuhan. Maka, dua tahun berselang, Kus memutuskan kembali ke kampung. Mencoba mengadu nasib, daftar calon PNS.

Dasar nasib lagi baik, tahun itu juga Kus langsung diterima menjadi PNS. Setahun setelah jaman reformasi, satu tahun setelah pergantian kekuasaan Orde Baru, sogok menyogok, dan suap menyuap seperti hilang ditelan bumi. Tak seperti sebelumnya. Maka, Kus ketiban berkah jaman.

Dia masuk PNS dengan hasil tes murni. Tak secuil uang sogok pun dia keluarkan. Jika pun jaman masih seperti dulu, harus ada praktek-praktek cula, harus mencari uang dari mana jika harus membayar jabatan guru PNS itu? Lebih baik mundur dan berkarir jadi guru honorer, barangkali.

Kus kemudian mengajar di SMP di ibukota kecamatan. Setahun berselang, Kus lantas menikah dengan tetangga, yang baru lulus dari Akademi Kebidanan. Harus mencari jodoh sepadan, barangkali. Istrinya praktek di pinggiran kota di seberang Cisanggarung. Mereka kemudian menganyam hidup. Kini sudah punya dua anak. Punya pekarangan luas, dua sepeda motor, juga sebuah kendaraan roda empat.

****
****

Tiga tahun menjelang Kus lulus, Karto masuk SMU. Letaknya di ibukota kecamatan, sekolah yang sama dengan dua adiknya. Tadinya ibu sudah berkebaratan Karto melanjutkan SMU. “Lebih baik kamu kerja seperti orang-orang sekampung ini saja, merantau ke Jakarta, kerja di proyek-proyek bangunan, dapat uang,” kata ibu kepada Karto, suatu sore.

Karto mendongak. Nilai Ebtanas Murni (NEM) Karto terbesar kedua di SMP. Saat itu murid SMP ada sekitar 146 siswa. “Mana mungkin aku berhenti begitu saja,” kata Karto, membela diri.

Karto sepertinya mewarisi sifat ibu, yang juga turun ke Kus: keras kepala dan memegang prinsip. Itu pandanganku, yang ada di luar keluarga mereka. Karto keukeuh ingin melanjutkan ke SMU. Maka menjelang pembukaan murid baru, beberapa hari selepas lulus SMP, Karto ke sana ke mari mendaftarkan diri ke SMU, tujuh kilometer jauhnya dari rumah.

Lantaran sepeda pun tak punya, Karto terpaksa bolak-balik meminjam sepeda ke uwa –sebutan untuk kakak ibu atau bapak—dari bapak. Singkat kata, Karto tak susah masuk ke SMU di ibukota kecamatan.

Sampai sini Karto sumringah, sekaligus bimbang. Darimana uang untuk membayar SPP per bulan, atau uang bangunan, yang jumlahnya bisa untuk membeli dua kwintal padi itu? Sarana transportasi pun belum ada, sepeda pun tak punya. Sementara uang ibu bapak tersedot untuk mambantu biaya Kus yang sedang genting-gentingnya kuliah.

Sisi lain, ibu ingin memperbaiki rumah yang sudah bocor di sana-sini. Rumah joglo tua itu memang sudah saatnya dibongkar. Apalagi, ketika itu di kampung sedang tren membangun rumah, membongkar rumah joglo menjadi sedikit modern. Tren itu muncul setelah orang-orang sekampung Karto rame-rame mengadu nasib ke Jakarta. Ada yang jadi kuli bangunan, berdagang asongan, atau membuka warung makan.

Tak hilang akal, setelah pengumuman Karto diterima SMU itu keluar, Karto nekad juga ke Jakarta. Dia ikut seorang teman yang menjadi kenek tukang bangunan di bilangan Ciracas, Jakarta Timur. Karto juga menjadi kenek bangunan. Dia masih ingat betul, ketika itu ikut membangun rumah susun untuk polisi di Ciracas tersebut.

Tiga pekan lamanya di sana. Dengan gaji Rp 7.500 per hari, Karto bisa menggembol uang Rp 100.000, setelah dikurangi uang makan. Dia makan seirit mungkin agar bisa membawa uang untuk bayar uang bangunan, kalo bisa sedikit memberi buat ibu.
Alangkah bahagianya jika bisa turut memberi secuil uang itu untuk ibu, meski cuma untuk beli lauk yang lebih baik ketimbang makanan sehari-hari, yang cuma ikan asin atau tempe itu.

Uang segitu ternyata sangat berharga bagi Karto. Separuhnya untuk mencicil uang bangunan sekolah. Sedikit juga untuk memberi ibu, meski ibu rada menolaknya. Sebagian kecil lagi untuk membeli sepeda seken. Saat itu angkutan ke kota kecamatan belum ada. Yang ada cuma dokar bertenaga kuda.

Menjelang masuk SMU itu, Karto harus keliling dari bengkel sepeda yang satu ke bengkel sepeda lain di kampung. Mana tahu ada sepeda seken yang bisa untuk kendaraan sekolah. Syukurlah, di sebuah bengkel di ujung desa, ada seonggok sepeda bekas, dengan ban sudah belel, dan rantainya yang berkarat. Tak pikir panjang, Karto membelinya. Harganya Rp 35.000. Uangnya dari sisa kuli di Jakarta. Dia sedikit lega. Satu soal sudah teratasi.

Maka, mulailah Karto sekolah. Tiap hari menggoes sepeda baru yang tua itu, ke sekolah. Berkali-kali, dia harus membenarkan tali rantai sepeda yang kerap lepas, di jalanan menuju sekolah. Sementara teman-teman lain, saling dahulu mendahului. Ada yang memakai sepeda baru, beberapa juga mengendarai sepeda motor. Karto cuma penyendiri. Lebih jarang bergaul dengan teman sekolah. “Aku tak mau merepotkan orang lain,” katanya, kepadaku suatu sore.

Sehabis pulang sekolah, Karto harus pergi ke ladang untuk sekadar cari rumput buat kambing-kambingnya. Bapak memelihara beberapa ekor kambing hanya sekadar untuk tambalan kebutuhan hidup. Syukur-syukur bisa untuk menambal biaya sekolah.

Banyak manfaatnya juga Karto hidup prihatin. Teman-temannya yang sesama penggembala kambing, bukan anak-anak muda yang suka foya-foya, membawa Karto hidup sederhana. Betapa uang jajan seorang anak SMU lain sangat tak sebanding dengan uang jajan Karto.

Pada medio 1990-an itu, Karto hanya menggenggam Rp 200 per hari untuk sekadar uang jajan ke sekolah. Saat itu, harga sebuah bala-bala – di daerah lain disebut bakwan—sudah Rp 100 per buah. Sementara seporsi piring nasi plus bumbu kuah sudah Rp 500. Jadi, Karto harus menabung hingga seminggu lamanya agar bisa sekali makan di kantin sekolah.

Itupun jika sepeda tuanya tak mengalami rusak, seperti putus rantai dan ban meletus. Untunglah, Karto sudah terbiasa puasa Senen Kamis. Jadi, tak soal jika tak bisa jajan di kantin.

Sifat penyendiri membuat Karto tak biasa menggantungkan apapun pada orang lain. Termasuk soal belajar. Kebetulan, Karto terbilang menonjol di antara teman-temannya. Kelas satu SMU, dengan system catur wulan, Karto dua kali jadi juara satu, dan sekali juara dua. Maka, memasuki kelas dua, Karto mendapat beasiswa. Uangnya Rp 60.000 per bulan. Atau sekitar Rp 720.000 setahun.

Jumlah yang luar biasa besar bagi Karto. Meski cara pengambilannya dicicil di kantor pos, uang bea siswa itu terasa sangat membantu. Maka, Karto membelikan satu set kursi sudut lumayan empuk –ketika sedang tren—seharga Rp 700.000. Saat ini kursi-kursi itu masih terderet rapi di ruang tamu rumah ibu, tak jauh dari tubir Cisanggarung.

Liburan sekolah tahun kedua, Karto tak mau menyia-nyiakannya. Dia kembali ikut seorang teman yang bapaknya mandor bangunan. Dia kembali menjadi kuli bangunan. Dia ikut membangun gedung baru pabrik perakitan motor Suzuki, di Tambun, Bekasi. Gajinya lebih naik sedikit ketimbang setahun sebelumnya: Rp 10.000 per hari.

Tapi dia cuma bekerja selama 12 hari saja. Sang mandor, bapaknya teman Karto, kemudian memulangkan beberapa tenaga kerja kuli. Alasannya: bangunan pabrik sudah hampir selesai, sehingga harus ada pengurangan tenaga kerja. Karto tak bisa berbuat apa-apa. Padahal sisa liburan masih setengah bulan lagi.

Uang hasil kerja itupun lumayan buat melunasi uang gedung yang masih tersisa separuhnya: Rp 50.000. Sisanya buat ngasih ibu dan sedikit tabungan.

Singkat cerita: Karto bisa lulus SMU setelah setahun kemudian mendapat bea siswa kembali. Jumlah Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya ketiga tertinggi dari 142 siswa SMU.
Ketika itu, Kus, kakak Karto sudah lulus kuliah dan mengajar di salah satu SMK di Jakarta. Karto memberanikan ikut UMPTN. Ndilallah nasib kembali berpihak. Dia masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, tempat Kus sebelumnya kuliah. Dia mengambil jurusan Ekonomi. Lulus dalam empat tahun saja.

Selama itu, Karto menambah-nambah uang makan dari mengajar privat. Sebab, jatah dari Kus dan ibu sangat tidak cukup untuk biaya hidup di Jakarta yang sudah menjulang. Karto tak menghabiskan sepetak pun sawah di kampung yang tersisa tinggal setengah bau saja.

Setelah dinyatakan lulus, Karto iseng-iseng melamar dengan surat kelulusan pada sebuah penerbitan di Jakarta. Padahal, jurusannya sangat tidak masuk untuk kategori pekerjaan itu. Sebab, seharusnya dia menjadi guru seperti Kus. Itu adalah lamaran pertama Karto. Nasib lagi-lagi berpihak. Dia diterima, setelah menjalani serangkaian tes. Mulai psikotes, wawancara, dan sebagainya. Kini, aku mengenalnya sebagai juru warta.

Punya istri yang dulu teman seangkatan di sekolahnya. Yang ketika sekolah sama sekali tak pernah say helo, misalnya, karena memang Karto minder untuk sekadar kenal saja. Dia cantik, hitam manis ala wanita Jawa. Ketika sekolah, istrinya adalah buruan banyak teman-teman lelaki Karto. Meski sudah mengagumi sejak SMU, Karto tak pernah berniat mendekat. Sebabnya, dia sudah merasa kalah sebelum berlaga.
Kini, Karto sudah punya satu anak dari dia. Punya rumah lewat cicilan BTN di luar Jakarta.

****
****

“Karto, sudah sebulan lebih ibu tak meneleponmu, kangen sekali rasanya,” kata ibu, di ujung telepon, mengulang lagi. “Apa kabar istri dan anakmu,” sambungnya.
“Aku baik-baik saja, bu,” jawab Karto, dengan logat Sunda pinggiran yang kental. “Maaf, ibu, aku belum sempat kirim uang, pekerjaanku padat sekali,” kata Karto.

“Sudahlah, tak usah dipikirkan, biar ibu sama bapak menjual padi saja,” kata ibu.
“Tidak, bu, akan segera saya kirim,” sergah Karto.

“Tidak usah, Nak. Ibu tahu, kebutuhanmu sudah sangat banyak. Kemarin ibu memang sempat ke rumah kakakmu di seberang Cisanggarung sana. Untuk sekadar pinjam uang. Ibu naik angkot sendiri ke sana. Cuma dia sekarang sepertinya sedang banyak kebutuhan juga. Dia bilang, saya kan sudah banyak bantu. Nanti kalo Uban pulang dari Jakarta, ingatkan dia untuk mulang tarima,” kata ibu, menirukan Kus, rada terisak.

Mulang tarima adalah istilah balas budi di daerah Karto. Uban adalah adik pertama Karto yang baru saja menjadi PNS di departemen tadi.

“Cuma ibu bilang, biar saja Uban fokus kerja dulu, jangan direcoki oleh permintaan-permintaan. Memang Kus, kakakmu itu, ketika Uban masih kuliah sesekali memberi uang, hitung-hitung mulang tarima ke ibu, tapi kan yang nanggung biaya kuliah Uban kamu, Karto. Ibu kini merasa bersalah telah merepotkan kalian-kalian,” suara ibu di ujung telepon agak memelan, terdengar terbata. Lamat-lamat malah terisak.

“Ibu tahu, tak bagus membandingkan pemberian dari anak satu dengan anak lainnya. Ibu tak berharap itu, dengan melihat kalian bahagia saja, ibu sudah sangat senang, le,” kata ibu lagi. Sejenak terdiam. Karto pun terus termangu.

“Sudahlah, Bu, kebutuhan Ibu biar saya tanggung,” kata Karto. Bukan niat menjadi pahlawan, kata Karto kepadaku pada lain kesempatan soal omongannya itu. Tapi apa salahnya jika aku bersyukur, kata Karto lagi. Sekarang tanggunganku si Uban udah mulai punya pegangan hidup. Tinggal adik bungsu yang kini di SMU kelas satu.

Benar juga pikirku. Selama ini, Karto hanya sesekali saja kirim uang kepada ibu. Hasil sisihan tabungan sisa uang makan dari kantor. Juga sisa dari jatah Uban kuliah. Karto hingga kini masih saja sederhana. Makan cukup dengan tempe, tahu, ikan asin, telur dadar, sesekali daging ayam. Bahkan, Karto lebih sering membawa bekal makanan dari rumah ke kantor, bekal dari istrinya. Tidak lain agar lebih menghemat pengeluaran. Syukur-syukur bisa menyisakan uang untuk ibu.

Biar Karto menjanjikan akan selalu mengirim uang ke Ibu, kepada ku Karto bilang, jujur ketika mengatakan itu dia punya beban. Sebab, setiap kali Karto harus mengirim uang ke ibu, maka dia seperti punya utang kepada mertua, katanya. Meski secara materi, mertua Karto terbilang lebih, dan memang terpandang di daerah tubir Cisanggarung.

Karto ingin berbuat adil, katanya. Setiap kali mengirim uang ke ibu, Karto ingin juga mengirim kepada mertua. Itu artinya, beban makin bertambah. “Tak enak aku sama istriku setiap kali berniat mengirim uang ke ibu, aku seperti punya utang,” kata Karto, kepadaku. Aku sangat memahami posisi Karto. Dia sekarang punya banyak kebutuhan. Setelah Uban punya kerjaan tetap, Karto berniat pindah rumah.

Rumahnya saat ini terasa sangat jauh jaraknya dari tempat kerja: 47 kilometer sekali perjalanan. Maka, sehari dia bisa menempuh hampir 100 kilometer. Inilah yang mungkin dipahami ibu.

“Ibu tak usah dipikirkan, Karto. Ibu tahu kamu banyak kebutuhan,” kata ibu, sekali mengulang di ujung telepon. Karto terdiam. “Ibu, bapak, aku ingin mengangkat derajat kalian,” tak kuasa Karto mengucapkan kalimat itu. Dia hanya mampu membisikannya ke telinga ku, beberapa hari kemudian. “Ibu, doakan Karto, bu,” di ujung telepon Karto berharap.

sumber : http://bungapadangilalang.blogspot.com/

Read More........